Monday, November 16, 2009

LAPORAN REFLEKSI PERJUANGAN GERAKAN TANI PERSIL IV DELI SERDANG


Gerakan Tani Persil IV adalah organisasi Tani yang didirikan pada pertengahan Agustus 2006 di Kecamatan STM Hilir Kabupaten Deli Serdang, Propinsi Sumatera Utara. Merupakan organisasi independen yang sedang berjuang melawan kebiadaban kapitalisme dalam kasus perampasan tanah seluas 525 Ha.

Tanah milik rakyat seluas 525 Ha yang dirampas PTPN II pada tahun 1972 ini menyisakan segudang derita yang akut, mulai petani harus pindah ke daerah lain untuk mencari penghidupan yang baru ataupun tetap bertahan dengan konsekuensi akan menjadi buruh di atas tanahnya sendiri bahkan harus beralih profesi menjadi pedagang keliling atau mati dalam siksaan batin.

Berlalu tanpa ada harapan dan hidup dalam ketakutan dibawah tirani Orde Baru yang menghamba kepada kepentingan Modal, seolah-olah mereka harus dipaksa untuk melupakan tragedy berdarah itu, gubuk-gubuk dibakar di depan mata, tanaman siap panen dibabat habis oleh segerombolan loreng-loreng mengatas namanakan Negara, pukulan-pukulan yang membabi buta, rumah hanya tinggal tiang pondasi karena atapnya dibakar sekelompok orang tak dikenal, suatu pengalaman hidup yang menjadi trauma mendalam ketika berusaha mempertahankan haknya.

Tahun 1998 adalah titik awal perjuangan kaum tani dari gerakan tani Persil IV, sesuai dengan Surat Kepemilikan Tanah yang mereka punya dinamai dengan tanah Persil IV maka dinamakanlah perjuangan mereka menjadi perjuangan Tani Persil IV.

Perjuangan dilakukan dengan melakukan gugatan pengadilan terhadap PTPN II, dari tingkat PN hinggah MA, alhasil perjuangannya terjebak dalam legalitas hokum Negara yang pasti akan berpihak terhadap kepentingan modal, walaupun sampai di tingkat MA gugatan dimenangkan oleh masyarakat tapi ada cara lain untuk menyelamatkan PTPN II yaitu dikabulkannya PK PTPN II di MA.

Metode perjuangan yang seperti itu akhirnya hanya akan membawa perjuangan, mereka ke alam bawah sadar yang kebanyakan terbius oleh janji palsu pengadilan dan hanya melahirkan situasi ketergantungan. Belum lagi upaya-upaya pihak PTPN II yang gencar melakukan lobi di tingkat pemilik tanah.

Dari tahun 1998 hinggah 2006 perjuangan Persil IV hanya menggantungkan nasibnya pada gerakan lobi dengan kepemimpinan organisasi yang semerawut dan elitis, jelas sekali strategi yang mereka lakukan akan menjadi bom waktu yang siap meledak dan akhirnya akan melahirkan ketergantungan dan perpecahan, belum lagi kepentingan-kepentingan busuk beberapa LSM yang coba mengendap di tubuh Persil IV.

Agustus tahun 2006 adalah titik dimana perjuangan petani Persil IV mengalami beberapa perubahan strategi, diawali dari masuknya organisasi aliansi mahasiswa yang independent bernama SMAPUR (Solidaritas Mahasiswa dan Pemuda Untuk Perjuangan Rakyat), yang akhirnya melakukan pengorganisiran hinggah sekarang.

Pengorganisiran yang dilakukan melahirkan sebuah organisasi perjuangan tani yang bernama GTP IV (Gerakan Tani Persil IV) Deli Serdang, dengan jumlah Organiser 8 mahasiswa yang live in.

Gerakan – gerakan pendudukan lahan mulai dilakukan, serta penekanan-penekanan politik ke lembaga Negara tetap digunakan sebagai strategi. Akhirnya PTPN II mengakui secara tertulis bahwa tanah adalah milik petani, tetapi mereka mengklaim tanaman adalah tetap milik mereka.

Akhirnya ini menjadi bisnis oleh pejabat-pejabat PTPN II, Kepolisian, Mafia dan lembaga Negara lainnya, dengan cara membuat KSO (Kerja Sama Operasional) pemanenan dengan perusahaan lain agar tetap bisa melakukan pemanenan, walaupun dalam hukum formal ini illegal (tidak diperbolehkan membuat suatu perjanjian di atas obyek yang berperkara) namun ini berjalan hinggah sekarang.

Konsentrasi strategi perjuangan adalah melakukan pembunuhan terhadap sawit karena hanya tanaman yang di klaim milik PTPN, tetapi petani harus berhadapan dengan ratusan preman, polisi dan tentara di lahan mereka, petani berusaha melakukan penanaman tanaman tumpang sari di tanah mereka karena PTPN telah mengakui bahwa tanah adalah milik petani, dan penanaman tanaman tumpang sari juga digunakan sebagai strategi untuk menumbuhkan semangat turun ke lahan sekaligus sebagai sikap penunjukkan identitas kepemilikan lahan/alat produksi.

Strategi ini hanya berjalan 3 bulan terhitung mulai dari januari hinggah maret 2007 karena semua tanaman tumpang sari yang ditanam petani dibabat habis oleh oknum PTPN II dan menyusul pada pertengahan 2007 posko induk perjuangan Gerakan Tani Persil IV dibakar ketika posko sedang kosong.

Dari kondisi inilah petani mulai hilang kesabaran dengan mencoba untuk konfrontasi terbuka dengan preman-preman bayaran PTPN II, beberapa kali bentrokan terjadi, dan petani bisa kembali menduduki lahan mereka, namun hanya bertahan hinggah awal 2008 karena lahan dikuasai kembali oleh preman-preman.

Akhir 2008 merupakan titik klimak kejenuhan perjuangan Tani Persil IV, di tingkat Organiser (mahasiswa) juga semakin melemah karena beberapa organizer yang live in di basis dituntut untuk menyelesaikan study akhirnya (sarjana) dan hanya tinggal 3 orang yang bertahan untuk mengorganiser di basis, banyak hal kami akui secara jujur bahwa pengorganisiran di Persil IV memiliki banyak kekurangan dan kelemahan-kelemahan.

Dari kondisi yang kami paparkan di atas kami sedang berusaha untuk memperbaiki kembali kekurangan-kekurangan kami, dan mencoba berusaha untuk memulai lagi dengan semangat dan strategi baru dengan prinsip-prinsip anti otoritarian.

Dalam pertemuan akbar Refleksi Perjuangan Gerakan Tani Persil IV yang difasilitasi oleh SMAPUR (Solidaritas Mahasiswa dan Pemuda Untuk Perjuangan Rakyat), pada Minggu 4 Oktober 2009, yang hanya dihadiri 50% seluruh anggota Gerakan Tani Persil IV Deli Serdang membuahkan beberapa kesepakatan yaitu : menyatukan kembali kekuatan yang telah melemah, pendudukan lahan, penguatan organisasi dan membunuh sawit.

Salam Solidaritas …!!!

NB : Hari ini, esok dan kedepan kapitalisme tidak akan pernah berhenti menggilas kehidupan jika kita tidak melakukan sesuatu yang akan menghancurkan mereka, perlawanan itu akan berarti jika kita melakukannya dengan kecerdasan dan perlawanan akan berakhir konyol jika tanpa kecerdasan, dan itu hanya ditemukan jika kita melebur didalamnya.

Reportase Kebangkitan Petani Polongbangkeng, Takalar

Reportase Kebangkitan Petani Polongbangkeng, Takalar

RENTANG PERJUANGAN SELAMA 27 TAHUN

Di Polongbangkeng Utara dan Selatan, Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan, sekitar 50 km dari Makassar. Selama lebih dari 27 tahun tanah petani dirampas untuk ditanami tebu oleh Pabrik Gula PTPN XIV (persero).

Awal Mula Perampasan

Dibentuk berdasarkan PP No. 19/1996, PT. Perkebunan Nusantara XIV (PTPN XIV) adalah satu dari sekian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang agribisnis. PTPN XIV merupakan penggabungan kebun-kebun proyek pengembangan PTP di Sulawesi, Maluku dan NTT yaitu eks PTP VII, PTP XXVIII , PTP XXXII dan PT Bina Mulia Ternak (BMT). PTPN XIV memiliki 18 unit perkebunan dan 25 unit pabrik pengolahan dengan komoditi kelapa sawit, gula , karet, kakao, kelapa hibrida, kelapa Nias, pala, kopi pada areal konsesi seluas 55.425,25 ha.

Khusus komoditi gula PTPN XIV kini mengelola tiga pabrik gula yaitu PG Camming dan PG Arasoe di Kabupaten Bone dan PG Takalar di Kabupaten Takalar dengan total areal seluas 14.312 ha. Dalam setahun, ketiga pabrik ini memproduksi 36.000 ton atau memasok 1,33 % konsumsi gula nasional yang mencapai 2, 7 juta ton.

PG Takalar PTPN XIV beroperasi di Polong-bangkeng sejak tahun 1982. Sebelumnya beroperasi dengan nama PTP XXIV-XXV. PG Takalar PTPN XIV adalah peralihan dari PT Madu Baru, yaitu sebuah perusahaan pabrik gula milik Sultan Hamengkubuwono yang sebelumnya telah berdiri dan membebaskan sebagian tanah petani sejak tahun 1978. Namun pada tahun 1980 PT Madu Baru mundur dari rencana pengolahan perkebunan tebu setelah terjerat kasus penyelewengan dana pembebasan tanah, sehingga digantikan oleh PTPN XIV berdasarkan SK Bupati Takalar tahun 1980.

Penolakan yang dijawab dengan Represi kejam

Reaksi petani atas pembangunan pabrik telah menunjukkan penolakan sejak PT Madu Baru berdiri. Tidak adanya sosialisasi dan keterlibatan masyarakat oleh dikeluarkannya izin sepihak pembangunan pabrik serta penetapan ganti rugi yang sangat tak sebanding yaitu Rp. 10/m2, adalah alasan penolakan petani. Bahkan pembebasan lahan berjalan penuh dengan manipulasi dan intimidasi. Serangkaian ancaman dan tindakan kekejaman dilakukan aparat TNI. Pengrusakan dan pengambilan tanah secara paksa, pemukulan, penangkapan atas tuduhan kriminal, penembakan, bahkan pembunuhan. Sebagai contoh, pada November 1978 Lewa Dg. Rowa seorang petani ditemukan tewas dengan kaki tergantung, kasusnya tak pernah diusut hingga hari ini.

Setelah peralihan PT Madu Baru kepada PTPN XIV, intimidasi masih terus berlanjut untuk mempercepat penguasaan lahan petani. Bahkan diperparah dengan mencap warga yang menolak pembebasan lahan sebagai PKI. Adalah makar bagi setiap tindakan yang tak sejalan atas kebijakan pemerintah. Ini adalah pola standar di masa itu yang digunakan negara untuk mematahkan perlawanan.

“Karaeng” atau golongan keturunan bangsawan turut berperan dalam upaya pembebasan lahan. Di tengah masyarakat, kelompok ini memiliki posisi dan wewenang lebih tinggi bahkan menempati jabatan dalam struktur pemerintahan. Selain informan, mereka juga mengelabui dan merepresi setiap bentuk penolakan petani.

Atas SK Bupati Takalar tahun 1980, izin HGU diterbitkan selama 25 tahun bagi beroperasinya Pabrik gula PTPN XIV. Ditipu oleh status tanah dan jani bahwa tanah petani akan kembali setelah masa HGU berakhir membuat warga terpaksa menandatangi perjanjian dan menerima pembayaran ganti rugi atas tanah. Ditambah posisi warga yang tersudutkan oleh intimidasi. Meski begitu, sejumlah petani tak sedikitpun pernah mendapatkan ganti rugi.

Lebih dari 6500 m2 lahan dikuasai pabrik gula PTPN XIV, 4000 m2 lahan tersebar di 12 Desa di dua kecamatan yaitu Polongbangkeng Utara dan Polongbangkeng Selatan Kab. Takalar, 2500 m2 lahan tersebar di Gowa dan Jeneponto. Penguasaan lahan secara besar-besaran oleh korporasi negara ini adalah penghilangan sumber kehidupan petani.

Kebangkitan Petani

Penantian selama bertahun-tahun tak mampu membendung keterpurukan dan kebutuhan hidup yang semakin mendesak. Perlawanan petani merebut kembali tanahnya akhirnya mulai dilakukan.

Tahun 1999, pendudukan lahan bermula, secara individu petani mulai melakukan aksi langsung pengambilan tanahnya. Menduduki lahan, mengolah dan mengganti tebu dengan tanaman yang lebih produktif (ubi kayu, jagung, palawija) terjadi di beberapa areal perkebunan .

Tahun 2005, status HGU PTPN XIV seharusnya berakhir tetapi PTPN XIV terus melakukan aktivitasnya seolah-olah HGU tak punya batas waktu. Petani pun terus melakukan pengambilalihan lahan, petani di desa lainnya juga melakukan hal sama. Reclaiming meluas, diperkuat keyakinan bahwa status tanah telah kembali karena masa HGU telah berakhir.

Tahun 2007, dua tahun lewat dari batas HGU, tetap tak ada kejelasan atas pengembalian tanah petani. Reclaiming makin meluas dan dilakukan secara massal hampir di seluruh desa di Kec. Polongbangkeng. Pembakaran lahan, pendudukan dan pematokan areal perkebunan, pengalihan fungsi lahan menjadi menjadi persawahan, ternak dilepaskan di perkebunan tebu, serta penggagalan pembibitan lahan tebu adalah sejumlah aksi langsung yang sangat signifikan mengambil kembali tanah pertanian.

Tahun 2008. akibat aksi reclaiming petani ini telah mengancam aktivitas PTPN XIV, sehingga satuan Brimob terus diturunkan melakukan penjagaan di sekitar lokasi. Warga menjalankan taktik jenius, melepaskan ternak sapi mereka ke areal perkebunan tebu. Ini dimaksudkan sebagai upaya merebut kembali tanah tersebut, sekaligus mensabotase tanaman illegal yang ditanam PTPN di tanah mereka. Brimob yang terlatih tersebut terus disiagakan menghalau aksi petani. Dalam sebuah aksi protes, petani dihadang oleh pasukan bersenjata lengkap. Insiden penembakan pun meletus. Insiden ini melukai 4 orang petani. Konflik petani dan PTPN XIV kembali terangkat dan menjadi sorotan. Resistensi warga semakin meningkat apalagi setelah Bupati Takalar secara sepihak kembali menerbitkan sertifikat HGU PG Takalar berlaku sampai 2024.

Tahun 2009, sepanjang tahun dan hampir setiap harinya, petani Polongbangkeng mempertahankan lahan mereka. Sepanjang itu pula mereka mendapatkan tekanan aparat yang terus disiagakan PTPN XIV. Penembakan kembali terjadi hanya dalam kurun waktu tidak sampai setahun. Pada 9 agustus 2009, sebuah aksi protes yang dimaksudkan petani untuk mencegah traktor milik PTPN XIV mengolah lahan mereka, dihalau secara brutal oleh aparat Negara. Satuan polisi dari Polresta Takalar, bersama 2 SSK Brimob dan PHH membabi buta melemparkan gas air mata dan tembakan pada kerumunan petani yang berkumpul. Setidaknya 8 orang petani tertembak, satu di antaranya mengalami luka serius di kepala karena ditembak dari jarak dekat, sementara sebagian besar lainnya juga mengalami luka-luka. Dari kejadian tersebut 7 petani ditangkap di lokasi kejadian.

Pasca kejadian ini, polisi terus melakukan penyisiran dan intimidasi ke rumah-rumah warga. Intimidasi lewat jalur hukum, mengkriminalkan petani, berbagai taktik digunakan PTPN XIV dalam memperlemah perjuangan Petani.

Upaya-upaya melemahkan Perjuangan Petani

Terdesak dengan aksi petani yang tak kunjung mereda, dimana mengancam kegagalan obsesi swasembada gula yang diprogramkan, akhirnya membuat pemerintah, PTPN dan polisi mendorong upaya diplomasi dan pendekatan kepada sejumlah warga secara terbatas. Wakil Gubernur Agus Arifin Numang turun langsung ke Takalar untuk bertemu dengan petani. Tetapi ini sekali lagi tak melibatkan petani secara keseluruhan, dan pada akhirnya ber-buah solusi sepihak yang tidak didukung oleh sebagian besar petani.

Keputusan pertemuan yakni Program Tebu Rakyat (TR) tak ubahnya sebagai sogokan agar petani melupakan siapa sebenarnya pemilik tanah dan siapa yang merampoknya. Mereka dijanjikan sekian luasan tanah untuk digarap dengan status hak kelola perkebunan tebu. Bukannya mengembalikan tanah petani, corak kapitalistik yang kental dalam program tersebut menjadikan petani hanya dijadikan buruh untuk menyuplai bahan baku produksi. Sebuah pembodohan dan manipulasi sejarah tanah, yang untungnya tidak disepakati oleh mayoritas petani.

Adu domba dan politik pecah belah terus dilancarkan, yang menyulut konflik horizontal akibat dominasi beberapa elit-elit masyarakat yang tergabung dalam sebuah tim perwakilan dari seluruh desa, justru beralih menjadi musuh yang mengambil keuntungan dalam program tersebut.

Di bulan Agustus 2009, diplomasi kembali digagas. Kali ini giliran polisi yang maju. Kapolda Sulselbar Mathius Salempang yang langsung turun tangan. Tapi, seperti sejarah selalu mengajarkan, diplomasi takkan pernah memenangkan kaum yang ditindas. Perjuangan petani kini dibelokkan dengan cara mendudukkan mereka pada hukum formal, sebuah tempat yang tidak pernah menyediakan tempat bersahabat bagi petani.

Epilog

Keberadaan Pabrik Gula PTPN XIV hampir 30 tahun telah secara drastis mengubah kehidupan petani Polongbangkeng. Akan tetapi, saat mereka menjadi tumbal atas ambisi tak kenal batas, petani Polongbangkeng telah memahami siapa musuh mereka dan bagaimana sistem ini berjalan. Mereka mengajarkan bagaimana berjuang dengan sepenuh hati. Mereka menunjukkan bahwa hanya dengan 'aksi langsung', dan bukan berunding atau memohon belas kasihan pejabat, kehidupan mereka bisa berubah. Mereka membuktikannya saat menduduki lahan-lahan secara sepihak, menanaminya langsung, panen padi dan jagung dirasakan kembali setelah hilang selama 27 tahun.

Dalam situasi terakhir, petani terus dihantui teror negara terkait kriminalisasi karena menuntut hak. Penggrebegan, intimidasi, pengawasan, penjemputan paksa, interogasi, penahanan, dan tindakan lainnya terus menerus dilancarkan. Ini adalah upaya sistematis untuk melihat perjuangan petani hancur lebur. Tetapi kita semua tahu, mereka tak mungkin bertahan hingga hampir 30 tahun di bawah tindakan-tindakan dan intimidasi kejam jika tak ada semangat hidup yang terus menyala di dada mereka. Semangat hidup yang berarti bersiap untuk mati, sebagaimana yang mereka sering serukan!

UPDATE TAKALAR

PAKAI PELURU TAJAM, POLISI KEMBALI TEMBAKI WARGA

Polisi kembali menembaki warga Polongbangkeng, Kabupaten Takalar. Ini adalah ketiga kalinya sejak kasus perampasan tanah oleh PTPN XIV ini muncul ke permukaan akhir 2008 lalu.

Hari Minggu, 25 Oktober 2009, warga mendengar kabar adanya aktifitas pengolahan lahan yang dilakukan oleh pihak PTPN XIV. Sekitar jam 4 sore, 10 (sepuluh) orang warga mendatangi lokasi di Blok K Desa Barugayya, Kecamatan Polongbangkeng Utara, Takalar. Namun belum sampai di lokasi, aparat yang mengawal pihak PTPN, menghadang warga. Mereka mengusir dan memerintahkan untuk kembali ke rumah masing-masing jika ingin aman. Tidak menerima hal tersebut, terjadilah adu mulut tentang latar belakang pengolahan dan kasus ini sebelumnya. Kemudian ada 4 (empat) orang dari satuan Brimob dan satu orang intelijen Kodim, yang terus mendesak warga untuk pergi dari lokasi.

Karena terdesak dan waktu telah menunjukkan pukul 6 petang, warga terpaksa meninggalkan tempat tersebut. Kepulangan warga ternyata disusul oleh 1 (satu) mobil Brimob. Dalam perjalanan pulang, saat warga masih berjarak sekitar 1 km dari lokasi pengolahan, mobil aparat mendekati rombongan warga dan bergerak melambat. Saat itulah aparat yang ada di atas mobil langsung melompat turun dan menembak secara membabi buta ke arah warga.

Peluru Tajam

Terjadi kepanikan luar biasa, karena warga tidak menyangka akan mendapat tembakan dari polisi. Menurut pengakuan warga, polisi menggunakan peluru tajam saat kejadian tersebut. Ini membuat warga terpencar untuk menyelamatkan diri dari kejaran polisi. Namun, Basse Dg Gassing (50 tahun) dan Bandu Dg Gissing (70 tahun) yang telah berusia lanjut akhirnya tidak bisa menghindari pengejaran di bawah rentetan tembakan. Dg Gassing dan Dg Gissing pun ditangkapi dan langsung dibawa ke kantor polisi.

Tidak cukup satu jam berselang, polisi kemudian bergerak masuk ke arah perkampungan warga di Kampung Ko’mara dengan menembak secara acak. Dari arah belakang rumah warga, polisi terus melakukan intimidasi dengan menembakkan gas airmata. Hal tersebut terus berlangsung hingga jam sepuluh malam.

Sejarah Panjang Tiga Dekade

Penghadangan warga atas aktifitas PTPN XIV yang kemudian direspon aparat dengan penembakan membabi buta, adalah kelanjutan dari perjuangan warga selama hampir tiga dekade. Sejak tahun 1980, tanah mereka diambil negara untuk dijadikan perkebunan tebu. Prosesnya berlangsung penuh tekanan, manipulasi dan represi aparat negara. Tahun 1999, seiring melemahnya rezim otoritarian Orde Baru, tanpa dikomando dan keterlibatan pihak luar, petani kembali bangkit dan berjuang mengembalikan tanah mereka yang dirampas. Mereka melakukan pendudukan dan aksi langsung (reclaiming), sebagai protes dan manifestasi perjuangan.

Meski belakangan diperlemah dengan upaya-upaya diplomasi serta represi negara, warga terus bertahan. Salah satunya dengan melakukan penghadangan serta sabotase atas aktifitas PTPN XIV yang mengancam kehidupan warga. Ini adalah bentuk swa-aktifitas warga Polongbangkeng Takalar yang berkembang secara mandiri.

Ribuan Petani Kulon Progo Melawan Kejahatan Korporasi

Ribuan Petani Kulon Progo Melawan Kejahatan Korporasi hingga bertempur
terhadap Polisi

Sejak pagi hari (Senin, 20 Oktober 2009) sekitar 2000 petani pesisir yang
tergabung dalam PPLP (Paguyuban Petani Lahan Pantai) Kulon Progo sudah
menempati jalan di depan kantor bupati Kulon Progo, Wates. Mereka datang
dengan 28 truk, untuk menyampaikan sikap penolakan rencana proyek
penambangan pasir besi di acara konsultasi publik proyek penambangan
pasir besi. Sikap masyarakat pesisir ini adalah bentuk aksi yang sudah
puluhan kali ditempuh Petani Pesisir Kulon Progo.

Konsultasi Publik ini dihadiri oleh oleh pemprakarsa proyek PT. Jogja
Magasa Iron (JMI), instansi pemerintah, LSM, perangkat desa dan
masyarakat. Acara ini mengundang masyarakat pesisir (petani) terdampak tak
lebih dari 25 orang. Tetapi saat memperlihatkan undangan, ada sejumlah
orang yang ditolak masuk ruangan. Alasan panitia, nama mereka tidak
terdaftar di buku tamu walau mereka memegang undangan. Sempat terjadi
negosiasi alot dengan panitia penyelenggara, karena sejumlah masyarakat
ini tergabung dalam PPLP, dilarang masuk. Hingga akhirnya Ketua PPLP,
Supriyadi dan beberapa orang yang terdaftar saja diperbolehkan masuk
Gedung Kaca, Pemkab Kulon Progo.
Sementara di luar gedung, aksi ribuan petani terus berlanjut melakukan
orasi, pembentangan spanduk, papan protes dan aksi teatrikal tentang
petani melawan pemodal tambang dan birokrat berdasi. Penjagaan ketat
dilakukan berlapis dengan menurunkan 600 personil polisi (PHH) dan mobil
water cannon. Polisi sempat terkecoh hingga warga bisa melewati lapis
pertama penjagaan polisi dan berhamburan di hadapan penjagaan lapis kedua.
Massa yang berhadapan langsung tepat di depan penjagaan lapis pertama ini,
sempat menggeser dan memindahkan besi palang pembatas polisi. Massa
kemudian menggantinya dengan membuat garis batas antara mereka dan polisi
berupa spanduk penolakan bertuliskan “Masyarakat Pesisir Kulon Progo
Menyatakan Menolak Penambangan Pasir Besi dan Eksploitasi Alam Sampai
Titik Darah Penghabisan”.

Di dalam Gedung, Wakil Ketua PPLP, Sutarman menginterupsi sidang yang
dipimpin oleh Wakil Bupati Kulon Progo, Mulyono. Sutarman membacakan sikap
resmi PPLP dihadapan Dirut PT.JMI Philip Welten, Komisaris PT.JMI: GKR
Pembayun, GBPH Joyokusumo, KPH Condrokusumo, KPH Ariyo Seno, Lutfi Hayder
dan peserta sidang lainnya. Dalam pernyataan sikap yang disampaikan
Sutarman bahwa “Proyek Penambangan Pasir Besi ini berpotensi merusak
sistem sosial masyarakat, merusak lingkungan dan ekonomi rakyat mandiri,
maka masyarakat pesisir melalui komunitas PPLP(Paguyuban Petani Lahan
Pantai) mendesak pemerintah Pusat Indonesia, Provinsi Yogyakarta dan
Kabupaten Kulon Progo untuk segera membatalkan rencana penambangan biji
besi di kawasan pesisir Kulon Progo.”

Sutarman juga menyampaikan supaya Pemkab Kulon Progo dan PT. JMI segera
bertemu langsung masyarakat pesisir di luar gedung demi memahami aspirasi
masyarakat yang sesungguhnya. Namun seusai pernyataan sikap dibacakan,
Wakil Bupati Kulon Progo Mulyono, selaku moderator sidang publik
menyatakan “Apabila nanti ada hal-hal yang menggangu acara ini maka
sepenuhnya ketertiban dan keamanan kami serahkan kepada Bapak Kapolres dan
Jajarannya. Oleh karena itu apabila bapak/ibu yang masuk dengan baik
dengan undangan ataupun tanpa undangan, bisa mengikuti dengan tenang kami
silahkan, namun kalau mengganggu jalannya sidang tentu hal ini kami
serahkan sepenuhnya kepada bapak kapolres Kulon Progo". Pernyataan itu
dinilai terlalu intimidatif oleh Sutarman, tidak lama setelahnya 20 orang
yang tergabung dalam PPLP memutuskan keluar meninggalkan sidang.
Supriyadi, Ketua PPLP menegaskan, “Keinginan kami masuk menyampaikan
aspirasi dihalang-halangi. Jumlah masyarakat terdampak saja di dalam tidak
sampai 20 persen. Acara ini bukan forum konsultasi publik, melainkan forum
legitimasi untuk meloloskan AMDAL Proyek Penambangan Bijih Besi.”

Aksi di luar gedung yang dihadang barikade Polisi tetap mengiginkan agar
pihak JMI dan Pemkab Kulon Progo untuk menemui petani pesisir. Sutarman
kembali masuk ruang sidang dan meminta agar Pemkab dan JMI menemui warga,
namun permintaan itu ditolak mentah oleh pemerintah. Akhirnya perwakilan
PPLP yang menghadiri sidang merapat ke massa aksi dan menyampaikan hasil
pertemuan mereka di dalam gedung pertemuan. Massa aksi masih menunggu
sambil melakukan orasi dan syalawatan. Salah satu syalawatan yang
dilantunkan berbunyi “Shalatullah shalaamullaah a’laa thaha
rosullullilaah… Pak Bupati sing bayar Petani, Pak DPR sing bayar Petani,
Pak Polisi sing bayar Petani, Ati-ati ojo nganti mati.”

Sekitar jam 11 siang hari mulai terik, massa aksi mulai kepanasan,
kemudian berkumpul dalam satu barisan. Seorang peserta aksi, Ulin Nuha,
sempat berorasi dari mobil komando dengan mengatakan “Ternyata darah kita
masih lebih merah dari investor. Karena mereka tidak mau mengobarkan diri
mereka, seperti kita mengorbankan diri untuk alam ini”. Sekejab secara
spontan para petani pesisir mulai merapat ke barikade polisi. Petani mulai
berjuang merangsek ingin bertemu dengan berbagai pihak di dalam gedung
yang berkepentingan terhadap penambangan. Aksi orasi berubah menjadi aksi
langsung dengan daya inisiatif melampaui garis barikade polisi.

Aksi dorong antara petani dan polisi pun terjadi. Polisi terdorong mundur
ke belakang oleh kekuatan aksi petani. Serangan ini membuat mundur lapisan
pertama satu barikade polisi menjadi berada di belakang barikade kedua
dengan tameng yang lebih tinggi. Polisi pun menyerang dengan memukul para
petani dari belakang lapis pertama yang sedang menempel dengan aksi massa
petani. Petani terus bertahan menyerang dengan kemampuan tanpa senjata.
Banyak petani muda membalas dengan ‘tangan kosong’ memukul dan menendang
polisi yang memiliki seragam pertahanan, tameng dan dipersenjatai pemukul
yang lengkap.

Suara tembakan seperti ledakan deras berbunyi, dan bersamaan dengannya
daya serang petani yang sangat spontan hadir dengan melempar batu yang
berada di sekitar lintasan rel kereta api. Sebelah selatan garis bentrokan
ini terdapat areal lintasan Kereta Api. Hujan batu yang sangat deras dan
bertubi-tubi pun tak bisa dihindari. Polisi pun balik menyerang dengan
batu dan tembakan gas air mata. Meski sudah terdengar suara tembakan
sampai 3 kali petani masih tetap berjuang dengan cara menyerang dan
bertahan membuat jarak ruang dengan polisi yang semakin terdesak mundur ke
belakang. Akhirnya menurut pengakuan Widodo, seorang petani Koordinator
Lapangan PPLP, “Polisi mengarahkan tembakan gas air mata ke hadapan saya,
peluru gas air mata itu meluncur kencang, lalu saya menghindar hingga
melewati setengah meter di depan kepala”. Ledakan tembakan gas air mata
ini sempat terdengar sampai lebih dari 5 kali. Aksi petani masih terus
menyerang pun memilih bertahan menghindar dari sesak dan perihnya gas air
mata, dengan berkumpul di alun-alun tempat truk mereka diparkir.

Mobil water cannon sempat disemprotkan dan mengenai mobil komondo aksi.
Meski massa aksi petani sudah menjauh dari depan real gedung Pemkab Kulon
Progo, masih terjadi tembakan gas air mata yang jauhnya sampai ke tengah
jalan alun-alun mendekati kerumunan massa. Seorang ibu berasal dari desa
Karang Wuni yang tidak mau namanya disebutkan, sambil berjalan dan
berusaha mengeluarkan muntahan mualnya mengatakan “Polisi mau membunuh
petani. Lihat saja, kami akan ingat kejadian ini”. (-tn-)


with fuck you
journalist attitude! jurnalis pundungan can kiss my arse!

KULON PROGO RIOT PORN dan Kronologi resistansi

http://www.youtube.com/watch?v=znTQHV783ZY 1. August 23, 2007
Buka link ini untuk melihat video dan update resistensi Kulon Progo

http://www.youtube.com/watch?v=znTQHV783ZY 2. October 23, 2008


http://www.youtube.com/watch?v=R22paW0J_6Y 3.October 20, 2009


http://www.youtube.com/watch?v=c3i4TFHPKOA 4.October 20, 2009


website - with english translation:

http://kulonprogotolaktambangbesi.wordpress.com/

KAUM TANI DIBAWAH ANCAMAN KAPITALISME

KAUM TANI DIBAWAH ANCAMAN KAPITALISME

Saat ini petani Indonesia sering menemukan kenyataan bahwa beras yang mereka produksi harganya jauh lebih mahal daripada beras yang diimpor (didatangkan dari luar Indonesia). Demikian pula halnya dengan hasil-hasil (produk) pertanian yang lain. Kenapa hal tersebut terjadi ? sejak kapan terjadinya dan apa akibatnya bagi kehidupan petani dan masyarakat Indonesia pada umumnya ?

Untuk memahami masalah-masalah ini, kita perlu mengenali apa yang disebut kapitalisme dan Imperialisme. Apa artinya kapitalisme ? kapitalisme adalah system pergaulan hidup yang timbul dari cara produksi yang memisahkan kaum buruh (termasuk buruh tani dan buruh perkebunan) dari alat-alat produksi. Dengan cara produksi semacam inilah, maka keuntungan (nilai lebih) tidak jatuh ke tangan buruh, melainkan jatuh ke tangan majikan (pemilik modal/capital). Kapitalisme oleh karenanya pula, menyebabkan penumpukan capital, konsentrasi capital, sentralisasi capital, dan barisan penganggur.

Sedangkan imperialisme adalah suatu nafsu, suatu system menguasai atau mempengaruhi ekonomi bangsa lain atau negeri, suatu system merajai atau mengendalikan ekonomi atau negeri bangsa lain. Ini adalah suatu kejadian di dalam pergaulan hidup, yang timbulnya ialah oleh keharusan-keharusandi dalam ekonomi suatu negeri atau suatu bangsa. Selama ada perekonomian bangsa, selama ada ekonomi negeri, selama itu dunia melhat imperialisme. Dia kita daapatkan dalam burung Garuda Rum (Kerajaan Romawi) terbang ke mana-mana menaklukkan negeri-negeri sekeliling dan di luar lautan Tengah. Dia kita dapatkan di dalam nafsu bangsa Spanyol menduduki negeri Belanda untuk bias mengalahkan Inggris, diaa kita dapatkan di dalam nafsu Kerajaan Timur Sriwijaya menaklukkan Negeri Semenanjung Malaka, menaklukkan Kerajaan Melayu, mempengaruhi rumah tangga negeri Kamboja atau Campa. Dia kita dapatkan dalam nafsu negeri Majapahit menaklukkan dan mempengaruhi semua Kepulauan Indonesia, dari Bali sampai Kalimantan, dari Sumatera sampai Maluku.

Imperialisme bukan saja system atau nafsu menaklukkan bangsa lain, tetapi imperialisme bisa juga hanya nafsu atau system mempengaruhi ekonomi Negara atau bangsa lain. Dia tidak usah dijalankan dengan pedang atau bedil atau meriam atau kapal perang, tidak usah berupa perluasan negeri-daerah dengan kekerasan senjata. Dia bisa juga dijalankan dengan putar lidah atau cara halus-halusan saja, atau diplomasi perdagangan dan dalam perkembangan kapitalisme global, dilakukan dengan tarif barang dan jasa.

Perjanjian Tentang Pertanian dan Akibatnya Bagi Petani Kecil

Perjanjian tentang Pertanian (AoA) adalah salah satu hasil Putaran Urugay yang mengatur perdagangan pangan secara internasional dan dalam negeri. Aturan-aturan ini memacu lajunya konsentrasi pertanian ke agribisnis dan melemahkan kemampuan Negara-negara miskin untuk mencukupi kebutuhan swadaya pangan dengaan cara bertani subsisten (bahan pokok penyembung hidup). Mengingat sebagian besar penduduk Indonesia adalah petani, perjanjian Tentang Pertanian (AoA) sangat berpengaruh besar terhadap kehidupan petani Indonesia.

Menurut dasar pikiran ketetapan tersebut, daripada mencukupi sendiri kebutuhan pangan, lebih baik Negara-negara itu membeli makanan dalam pasar Internasional dengan uang yang diperoleh dari hasil ekspor. Namun, banyak Negara-negara kurang berkembang menghadapi rendahnya harga produk mereka atas sejumlah ekspor mereka yang terbatas. Selama empat tahun pertamaWTO, harga bahan-bahan pertanian jatuh, sedangkan harga makanan tetap tinggi. System ini dapat merugikan petani maupun konsumen dan sekaligus membuka jalan bagi perusahaan-perusahaan transnasional mendominasi pasar, terutama di Negara-negara miskin.

Dengan menanda tangani Perjanjian Pertanian (AoA) Negara-negara dunia ketiga menyadari bahwa mereka telah setuju untuk membuka pasar-pasar mereka sementara memungkinkan para Adikuasa pertanian menguatkan system produksi pertanian bersubsidi mereka yang menyebabkan anjloknya harga padda pasar-pasar mereka. Pada gilirannya, proses tersebut, menghancurkan pertanian berbasis petani kecil.

Aturan-aturan WTO yang terbaru mengenai pertanian mendesak Negara-negara miskin untuk meliberalisasi pasar-pasar mereka, sementara pada sisi lain memungkinkan Negara-negara maju/industri untuk mensubsidi dan membanting harga produk-produk ekspor pertanian mereka. Ekspor yang dilakukan dengan membanting harga, terutama oleh Negara-negara Uni Eropa dan Amerika Serikat menghancurkan kehidupan di Negara-negara miskin, dan harus secepatnya dihapuskan. Di Afrika Barat, sebagai contoh banjir konsentrat tomat murah Eropa telah menghancurkan produksi dan pengolahan tomat local, sementara produk-produk susu Uni Eropa yang bersubsidi tinggi telah menyebabkan hilangnya pendapatan para produsen susu di Brazil dan Jamaica. Sedangkan di Indonesia, para petani kecil penghasil beraas mengeluhkan banjirnya beras impor, yang harganya selalu lebih murah daripada beras yang mereka produksi.

Pemerintah-pemerintah Negara kaya terutama Amerika serikat seringkali menyatakan kesediannya terhadap pengembangan lapangan bermain yang sama dalam pertanian. Namun, dalam kenyataannya, secara bersama-sama Negara-negara OECD (Negara-negara industri maju0 membelanjakan $350 Milyar untuk mensubsidi para petani mereka. Di Amerika Serikat, ini berarti subsidi senilai $20.000 untuk tiap orang petani. Globalisasi pasar-pasar pertanian berarti bahwa para petani ini bersaing dengan para petani kecil di Negara-negara miskin, yang banyak diantaranya hidup dengan kurang dari $ 1 per hari.

Pada masa krisis, banyak Negara berkembang/miskin telah meliberalisasikan impor pangan mereka, atas tekanan dari IMF dan Bank Dunia, bahkan memberlakukan tarif nol persen untuk impor bahan pangan utamanya (sembako). Pada masa normal nantinya, sulit untuk memberlakukan tarif lagi.

Akibat dua keuntungan yang diperoleh dari perjanjian tantang pertanian yakni produk pertanian yang bersubsidi dan tarif bea masuk yang sangat rendah adalah sangat mengerikan bagi para petani di Negara-negara miskin dan berkembang. Petani kecil tidak akan mampu bersaing dalam pasar global yang dikendalikan oleh perusahaan transnasional sementara tekanan untuk menyediakan produk tanaman ekspor akan menggusur jutaan petani dari lahan mereka, jadi, sekali lagi, patut dicamkan bahwa inilah akibat utama dari Perjanjian tentang Pertanian/WTO bagi petani di Negara-negara berkembang/miskin : menggusur jutaan petani kecil di lahan mereka.

Kapitalisme Global di Lapangan Agraria : Pasar Tanah dan Proyek Administrasi Pertanahan

Setelah melihat kepentingan yang dibawakan oleh WTO lewat perjanjian tentang Pertanian (AoA), maka kita perlu pula mengetahui kepentingan kapitalisme global terhadap alat produksi yang paling penting bagi petani dan sector pertanian yaitu tanah. Untuk hal ini, kapitalisme global dan para pendukungnya (termasuk kalangan intelektual) mengembangkan konsep yang dikenal sebagai pasar tanah (land market), yang secara gencar dipromosikan oleh Bank dunia pada tahun-tahun 2000-an awal dis eluruh dunia. Di Indonesia, proyek Bank dunia ini dikenal sebagai Proyek Administrasi Pertanahan (PAP) atau Land Administration Project (LAP).

Bank dunia memiliki pengalaman yang cukup panjang dalam bantuan kebijakan pertanhan Negara-negaara berkembang. Dua desain utama yang pernah dianut oleh Bank Dunia adalah Land reform dan Land Market, walalupun motif dari bank Dunia adalah sama-sama melanggengkan pengaruh Amerika. Namun terdapat perbedaan-perbedaan penting antara keduanya, yang terletak pada dataran agenda ekonomi-politik, sector yang menjadi tumpuan dan periode waktu penerapan kebijakan tersebut.

Pada decade sekarang, Bank Dunia tidak lagi menggunakan desain utama land Reform, karena argumentasi ekonomi politiknya menurut Bank Dunia sudah tidak lagi tepat. Dalam upaya menerapkan pasar tanah tersebut, Bank Dunia menyarankan agar pemerintah Indonesia melakukan deregulasi semua perundang-undangan yang dapat membatasi ruang gerak investasi, termasuk di dalamnya deregulasi pertanahan. Dari tinjauan ini, proses pengadaan tanah untuk investasi modal besar selama ini mengalami sejumlah hambatan yang mengganggu. Hambatan tersebut didasarkan atas tipe ideal prinsip pasar bebas. Arah baru strategi, kebijakan program, dan proyek pertanahan tersebut adalah membentuk pasar tanah yang efisien.

Salah satu proyek deregulasi pertanahn dalam kerangka land market (pasar tanah) yang disarankan oleh Bank Dunia kepada pemerintah Indonesia adalah apa yang disebut sebagai Proyek administrasi Pertanahan (land Administration Project). Ada suatu titik masuk untuk melihat asal-usul PAP (Proyek Administrasi pertanahan) sebagai bagian dari strategi global Bank Dunia, yakni uraian Bab II dalam dokumen Bank Dunia berjudul Staff Appraisal Report-Land Administration Project (SAR) dengan judul Bank Experience, Strategy and Rationale for bank involvement. Pada bagian awal Bab II SAR tersebut, diuraikan pengalaman keberhasilan proyek sejenis di Thailand, yang juga bekerja sama dengan AusAid. Namun, tidak diuraikan pengalaman kegagalan serius dari proyek di Papua nugini. Kecenderungan untuk mempopulerkan pengalaman yang berhasil (menurut ukuran Bank Dunia), dan menyembunyikan pengalaman kegagalan tentunya menimbulkan pertanyaan. Satu pertanyaan penting adalah apa latar dari perluasan proyek-proyek sejenis ?

Saat ini paling tidak ada beberapa Negara, di mana Bank dunia bersama-sama dengan AusAid (badan kerja sama pembangunan Australia) membiayai dan memberi hutang untuk proyek sejenis di berbagai Negara yang berkembang, diantaranya Thailand, papua Nugini, Laos, dan el savador. Bank Dunia sendiri telah berpengalaman lebih dari 35 tahun menghutangi proyek semacam ini, untuk Negara-negara di dua wilayah : Central America dan South-and Southeast asia.

Desakan Bank Dunia kepada pemerintah Indonesia untuk melaksanakan deregulasi pertanahan berada dalam kerangka neo-liberal. Asal-usul deregulasi ini dapat ditelusuri dari Program Penyesuaian structural (SAP) dari Bank Dunia terhadap ekonomi politik Negara-negara penghutang, termasuk Indonesia. Karena itu, deregulasi ini hanya dapat dimengerti dari siasat bank Dunia terhadap Negara-negara penghutang termasuk Indonesia, latar belakangnya sangat jelas, yakni agar Negara-negara penghutang mampu melunasi hutang-hutangnya atau bank Dunia harus menyelamatkan kekayaan dirinya dan mitra-mitra Negara pemodalnya.

Ditetapkan bahwa tujuan proyek administrasi Pertanahan(PAP) adalah proyek yang dijalankan oleh Pemerintah Indonesia yang bertujuan utama : meningkatkan pasar tanah (land market) yang wajar dan efisien dan mengentaskan konflik masyarakat atas tanah, melalui percepatan pelaksanaan pendaftaran tanah sebagai fase permulaan dari program pendaftaran tanah jangka panjang pemerintah Indonesia (Bagian A), dan perbaikan system kelembagaan administrasi pertanahan yang diperlukan untuk menunjang program pendaftaran tanah tersebut (bagian B). tujuan utama kedua proyek tersebut (Bagian C) adalah untuk menunjang upaya pemerintah Indonesia untuk mengembangkan kebijaksanaan pengelolaan pertanahan. Tujuan-tujuan yang berkaitan percepatan pendaftaran tanah ini adalah untuk menunjang pengentasan kemiskinan melalui jaminan hak pemakaian tanah yang ditingkatkan dan kesempatan agunan kepada pemilik tanah, serta untuk menyediakan insentif bagi investasi dan tata guna tanah yang berkelanjutan.

Selintas, tujuan Proyek Administrasi pertanahan (PAP) ini tampak akan menguntungkan rakyat Indonesia. Namun, dalam hal ini kita mesti membongkar secara sungguh-sungguh tujuan jangka panjang dari kepentingan Bank Dunia dalam mempromosikan pasar tanah ini. Apa yang sesungguhnya dikehendaki oleh Bank Dunia ? Bank Dunia menginginkan peran pemerintah sebagai penyedia tanah dikurangi otoritasnya. Bank dunia juga hendak menghapus seoptimal mungkin para calo pertanahan. Tentunya hal ini bagus selama ia memang ditujukan untuk kepentingan rakyat. Sayangnya tidak demikian, Bank Dunia lebih berpikir bagaimana membuat iklim investasi di Indonesia lebih nyaman bagi beroperasinya modal-modal besar, khususnya perusahaan-perusahaan multi/trans-nasional, dengan cara terciptanya mekanisme penyediaan tanah yang lebih efisien bagi kepentingan mereka.


Gerakan Tani Persil IV-Deli Serdang ( Ojudista )