Monday, March 15, 2010

Situasi di Persil V semakin memanas


Update 11/3/2010
Situasi di Persil V semakin memanas, dua kubu yang saling bertarung untuk merebut
sawit di atas lahan konflik saling menyerang, antara kubu PTPN II yang di backup
Brimob dan preman2 bertopeng bertarung dengan kubu MAfia Persil V (sekelompok kecil
warga persil V)yang dibackup Tentara.

Buntut dari bentrokan tgl 9 kemarin yang mengakibatkan 2 korban di pihak kubu Persil
V yaitu 2 tentara babak belur dihajar Preman PTPN II mengakibatkan bentrokan susulan
tadi pagi, tepat pukul 09. 00 wib seperti biasa pihak PTPN II melakukan operasi
rutin di lahan konflik, operasi rutin yang dilakukan tadi pagi menyebabkan 3 warga
biasa menjadi korban salah sasaran, Preman PTPN II mengira 3 warga tersebut sedang
melakukan pencurian sawit yg diklaim milik PTPN II padahal 3 warga tersebut sedang
mencari rumput untuk hewan ternaknya, seperti biasa kebiadaban preman2 PTPN II yang
kalau melakukan operasi rutin pasti tidak tidak pernah menginterogasi alias langsung
pukul jika mereka melihat ada orang di lahan konflik.

3 warga yang sudah berumur diatas 50 tahun tersebut babak belur, salah satunya pak
Selamet umur 60 tahun mengalami luka tembak di tangan, dan 2 lainnya mengalami luka
bacok di kepala. Akibat kejadian ini pihak Persil V melakukan penculikan terhadap
preman PTPN II, 2 preman PTPN II mengalami patah tangan dan kuping nyaris putus.

Di kubu Persil V sebenarnya terdiri dari 2 kekuatan yang berbeda kepentingan yaitu
warga yang beroientasi perjuangan perebuatan tanah dan sekelompok warga yang
berorientasi hanya pada buah sawit(sering disebut sebagai mafia karena hanya untuk
kepentingan pribadi), dan mayoritas warga tidak terlalu respon dengan sekelompok
itu, tetapi mereka sama2 benci dengan PTPN II.

~the real fight is out there...~

Pasukan Bertopeng dalam Bisnis dan Konflik Tanah di Deli Serdang


Persil V adalah sebuah daerah yang terletak di kecamatan STM Hilir, Kabupaten Deli Serdang, yang akhir-akhir ini sering diberitakan di berbagai media karena seringnya terjadi bentrokan antara warga dengan pihak PTPN II dalam kasus sengketa kasus perampasan tanah rakyat setempat.

Luas lahan sengketa adalah 400an Ha, yang jika dirunut konflik ini mulai terjadi sekitar tahun 1972, dimana rakyat telah mengusahai tanah mereka turun temurun dan pada masa kepemimpinan Soekarno, negara memberi tanah itu kepada rakyat atan nama tanah Suguhan Persil V, dan diperkuat dengan legalitas kepemilikan tanah berupa sertifikat hak milik.

Namun pada tahun 1972 pada masa rezim Orde baru tanah tersebut dirampas oleh negara dan diperuntukkan menjadi Hak Guna Usaha oleh PTPN II untuk perkebunan kelapa sawit dan karet, rakyat kehilangan alat produksinya dan harus beralih profesi hanya sekedar untuk menyambung hidup.

Pada tahun 1998 warga Persil V mulai berjuang untuk merebut kembali tanahnya dengan cara mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Negeri Deli Serdang atas nama koperasi yang mereka bentuk yaitu Koperasi Juma Tombak dan bergabung dengan perjuangan petani Persil IV (525 ha) yang mengalami kasus sama, di Tingkat Pengadilan Negeri gugatan dimenangkan oleh pihak warga, PTPN II melakukan upaya hukum banding di Pengadilan Tinggi namun gugatan tetap dimenangkan oleh pihak rakyat, dan berlanjut hinggah kemenangan rakyat di tingkat MA yang menolak kasasi PTPN II, namun kenyataan pahit akhirnya menimpa rakyat karena PTPN II melakukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) atas kasus tersebut dengan bukti-bukti baru yang diajukan PTPN II dan MA mengabulkan PK PTPN II.

Dalam putusan pengadilan dinyatakan bahwa tanah adalah milik rakyat dan tanaman milik PTPN II diperkuat dengan keputusan BPN ( Badan Pertanahan Nasional ) yang menyatakan bahwa areal sengketa tersebut diluar HGU (Hak Guna Usaha), dan dalam catatan jajak pendapat diantara beberapa lembaga pemerintah tersebut PTPN II juga mengakui bahwa tanah tersebut milik masyarakat tetapi tanaman milik PTPN II, hal ini yang selalu menimbulkan konflik di lahan, akhirnya menjadi tanah tak bertuan, asset tanaman diatas lahan sengketa tersebut perbulannya bisa menghasilkan 1 milyar rupiah bahkan bisa lebih. Tentu ini menjadi sebuah proyek terselubung dan bisnis kotor diantara pejabat-pejabat di tubuh PTPN II dan TNI/POLRI, karena dalam logikanya jika tanah diluar HGU maka tidak akan disetor ke kas negara.

Jika disederhanakan sumber masalahnya adalah tanaman diatas lahan tersebut, maka tanaman (sawit dan karet) yang diklaim milik PTPN II tersebut harus dimusnahkan, tetapi rakyat akan dihadapkan dengan kriminalisasi tindak pidana pengrusakan tanaman, maka jika ingin memusnahkan tanaman tersebut rakyat harus melakukannya dengan cara diam-diam dan rahasia.

Pada tahun 2002 Koperasi Juma Tombak yang merupakan wadah perjuangan petani Persil V dan IV mengalami konflik internal, berhembus isu konflik perpecahan di internal koperasi Juma Tombak dipicu oleh beberapa anggota pengurus koperasi yang telah membelot dan menjadi agen kepentingan PTPN II karena setelah ditinjau ulang ternyata wadah mereka terbangun secara sentralistik yang memberikan wewenang penuh terhadap ketua Koperasi, di sisi lain selama tahun 2000-2002 rakyat sempat menguasai lahan secara penuh dan memanen buah sawit di atas lahan sengketa tersebut untuk menjadi logistik perjuangan yang di simpan menjadi kas Koperasi Juma Tombak, dengan keadaan organisasi yang tidak sehat maka terjadilah praktik korupsi di tubuh koperasi tersebut, kelemahan yang lain terletak pada metode perjuangan yang hanya mengandalkan pada putusan pengadilan bukan pada gerakan pemusnahan tanaman yang akhirnya menyebabkan beberapa oknum pengurus koperasi memanfaatkan situasi ini untuk keuntungan pribadi dari hasil pemanenan tersebut ditambah dengan lemahnya control dari organisasi maka perpecahan semakin tak terelakkan dan Persil IV menyatakan sikap keluar dari koperasi Juma Tombak.

Pasca bubarnya Koperasi Juma Tombak kondisi perjuangan di Persil V menjadi berantakan, lahirlah dua blok kekuatan yang saling bersaing untuk merebut sawit di atas lahan sengketa tersebut, yaitu blok PTPN II yang beranggotakan ratusan preman-preman bayaran dan puluhan brimob ( BKO ), blok lain adalah mantan-mantan pengurus koperasi Juma Tombak Persil V yang beranggotakan puluhan preman bayaran yang di backup oleh Tentara dalam bentuk KSO : Kerja Sama Operasional. Oknum-oknum mantan pengurus koperasi ini memiliki beberapa sertifikat tanah dari warga yang mereka jadikan sebagai alat untuk melakukan kerja sama dengan pihak tentara sebagai jaminan mereka untuk melakukan KSO.

Dua blok ini adalah musuh perjuangan petani Persil IV, dan dua blok ini adalah merupakan konflik yang sengaja dipelihara agar memunculkan kondisi yang tidak aman, dan dua blok ini adalah sebuah konspirasi besar dari sebuah scenario persoalan agraria di Sumatera Utara.

Hari ini saya mendapat kabar dari kawan-kawan wartawan media cetak dan elektonik (TV) bahwa akan ada bentrokan dua kubu ini di Persil V, akhirnya saya dan beberapa kawan berniat ikut dengan rekan-rekan wartawan tersebut untuk melihat peristiwa ini, dengan membawa sebuah kamera seolah-olah terlihat seperti wartawan (penyamaran) kami langsung tancap gas, pukul 09. 00 wib kami sudah berada di lokasi yang sangat terisolir tepatnya di tengah perkebunan sawit, karena belum terlihat tanda-tanda akan terjadinya bentrokan kami mencari warung untuk melepas dahaga sekaligus menunggu rekan-rekan wartawan lainnya, tak lama kemudian sekitar pukul 09. 40 wib terlihat kubu PTPN II mulai berkumpul dengan pasukan bertopeng berjumlah puluhan, lengkap dengan senjata panah, golok dan tombak, terlihat seperti akan melakukan perburuan binatang buas di tengah hutan, selang beberapa waktu beberapa personil Brimob bergabung dengan puluhan preman bertopeng tersebut. Beberapa warga setempat yang melintas tampak pucat pasi dan menghindar dari gerombolan preman tersebut.

Sepertinya gerombolan preman bertopeng tersebut mendapat arahan dan instruksi untuk operasi yang akan dilakukan dari seseorang pimpinannya. Beberapa rekan wartawan yang sudah kenal dengan pimpinan preman bertopeng tersebut mencoba untuk melakukan wawancara dan saya memilih untuk bersantai di bawah pohon sawit besar sambil membayangkan kejadian yang akan terjadi, di sisi lain saya tidak ingin terlalu mendekat karena beberapa hal.

Tiba-tiba pimpinan preman bertopeng tersebut melontarkan kata “gerak” dan dalam sekejab semua preman bertopeng tersebut naik ke atas mobil jeep terbuka, terlihat mobil yang paling depan adalah pimpinan preman yang di kawal oleh beberapa personil Brimob, di mobil yang tengah adalah jeep terbuka para preman bertopeng tersebut dan mobil yang paling belakang adalah para staf pegawai PTPN II, diikuti oleh beberapa sepeda motor yang dikendarai oleh preman-preman lainnya.

Sedangkan kami para pemburu berita berada dalam posisi yang paling terakhir alias dibelakang mereka, di tengah perjalanan saya bertanya kepada salah satu wartawan media cetak apa yang akan terjadi, dan dia jawab kamu lebih ngerti apa yang akan terjadi. Dan akhirnya berujung ketawa lebar ditemani abu yang beterbangan dan asap kenderaan mobil mereka.

11. 35 wib tiba-tiba semua mobil berhenti dan terdengar teriakan dari arah depan, rekan-rekan wartawan dari TV dan media cetak langsung berlari untuk mengambil peristiwa yang terjadi, aku juga tidak mau ketinggalan, terlihat preman bertopeng tersebut lompat dari mobil jeep yang mereka tumpangi, dan mengejar gerombolan di depan, terjadi kejar-kejaran dengan oknum dari kubu yang kusebut diatas, ternyata yang mereka kejar adalah oknum tentara yang mereka anggap memback-up Persil V, baku hantam tak seimbang tak terelakkan, karena dari kubu Persil V hanya berjumlah 6 orang, itupun 4 orang dari mereka berhasil lolos dari sergapan preman bertopeng PTPN II. 2 orang yang diduga oknum tentara yang memback-up persil V menjadi bulan-bulanan preman bertopeng. Sadis atau sandiwara untuk memunculkan isu hanya itu yang ada di benakku saat itu, letusan senjata ke atas terdengar beberapa kali di perkebunan sawit yang tak bertuan itu, jikalau ini hanya sebuah sandiwara yang diskenariokan oleh komandan-komandan TNI/POLRI ataupun pejabat-pejabat PTPN II dengan menumbalkan 2 orang oknum TNI yang berpangkat sersan mayor sampai babak belur berarti ini sebuah konspirasi yang 'cantik'. Ataukah ini mengenai persaingan bisnis antara Petinggi Polri/PTPN II VS Tentara?


Silahkan kawan-kawan sendiri yang menganalisa kondisi yang banyak terjadi di Sumatera Utara ini dalam kasus konflik agraria yang berkepanjangan. Semoga bermanfaat bagi kita semua agar kita semakin mengerti dan faham tentang situasi dan bagaimana kita mempersiapkan langkah-langkah kedepan.



Tuesday, March 9, 2010

Monster di Kota Perth – Pertambangan Menggusur Petani


Perusahaan yang berpusat di Perth, Indo Mines Ltd dan Kimberley Diamonds tengah terlibat dalam upaya pengusiran yang sadis terhadap petani-petani Indonesia dari tanah tradisional mereka.

Di Kulon Progo, Yogyakarta, sebuah komunitas masyarakat otonom yang terdiri dari ribuan petani tengah menghadapi nasib mereka yang mengerikan—yaitu sebuah keharusan untuk memperjuangkan hidup mereka. Setelah menyempurnakan sendiri teknik pertanian di atas lahan pasir di mana mereka tinggal, dengan seenaknya mereka dikabari bahwa tanah mereka yang subur mengandung cadangan pasir besi yang sangat besar, yang mana Sultan Yogyakarta, pemerintah Indonesia dan perusahaan dari Perth Indo Mines dan Kimberley Diamonds merasa sangat antusias untuk mengeksploitasi tanah tersebut demi profit, dengan atau tanpa ijin para petani.

Perjuangan para petani demi kebebasan tanah mereka telah berlangsung sejak pertama kali komunitas mereka mendengar kabar mengenai rencana penambangan pada 2006. Sejak saat itu, para petani telah membentuk sebuah komunitas yang independen dan organisasi yang dijalankan secara konsensus. PPLP (Paguyuban Petani Lahan Pasir) telah memobilisasi perlawanan dalam jumlah dan intensitas yang mencengangkan. Para petani telah melakukan berbagai demonstrasi dalam jumlah ribuan orang, menduduki kantor-kantor pemerintah di Kulon Progo dan di provinsi Yogyakarta, dan telah mengalami juga sebuah serangan yang kejam oleh sebuah milisi fasis dan polisi dan telah pula berjuang membebaskan seorang warga dari tahanan polisi. Informasi lebih lanjut mengenai aksi-aksi yang dilakukan sejauh ini dan komunitas petani yang anti hirarkis dan berstruktur komunal dapat dibaca dalam bahasa Inggris di:

http://hidupbiasa.blogspot.com/2009/12/tale-of-sand.html and http://hidupbiasa.blogspot.com/2009/12/thousands-of-kulon-progo-farmers-resist.html and in Bahasa Indonesian at http://kulonprogotolaktambangbesi.wordpress.com.

Dua orang aktifis dari Perth baru-baru ini telah mengunjungi sebuah desa di Kulon progo untuk menyaksikan sendiri perjuangan petani melawan perampasan tanah mereka. Kami melakukan interview kepada beberapa petani mengenai kehidupan mereka dan pandangan mereka tentang kampanye solidaritas untuk membantu mempertahankan tanah mereka sambil bersama-sama menanam benih cabe, minum air kelapa yang segar di ladang dan makan semangka yang baru saja dipanen. Ketika kami mengatakan bahwa dalam website nya, Indo Mines menyatakan bahwa “area dalam lingkup proyek pertambangan tergolong sebagai wilayah yang sangat marjinal untuk pertanian dengan hanya sedikit area yang menyokong pertanian tradisional. Perusahaan kami percaya bahwa proyek pertambangan akan membawa dampak yang positif terhadap aktifitas-aktifitas tersebut”, seorang petani merespon bahwa mereka yang menyatakan hal itu tidak pernah mengunjungi ladang-ladang kami untuk menyaksikan sendiri kesuburannya atau berkonsultasi dengan kami padahal hal itu seharusnya dilakukan. Kenyataanya, Kulon Progo relative makmur dibandingkan dengan desa-desa pertanian lainnya di Jawa mengingat banyaknya varietas tanaman dan jumlah tanaman pangan yang ditanam di lahan yang akan dijadikan area pertambangan. Seorang petani yang kami interview, menyatakan bahwa “seratus ribu orang makan dari tanaman pangan yang kami tanam di tanah ini”. Kulon Progo juga sangat signifikan dalam hal jumlah pemuda yang tinggal dan bertani di daerah tersebut. Tidak seperti wilayah lain di Jawa dan Australia di mana kebanyakan pemuda meninggalkan komunitas desa yang kecil untuk bekerja di kota-kota besar, bertani dipandang sebagai pilihan hidup yang menarik bagi generasi muda.

Tak ada satupun orang di Kulon Progo yang yakin kapan pertambangan akan dimulai, atau tentang seberapa jauh perkembangan rencana tersebut saat ini, karena pemerintah dan korporasi tidak pernah memberikan informasi yang pasti mengenai niatan pertambangan tersebut. Namun ada satu hal yang pasti bahwa: banyak petani Kulon Progo yang bersedia mati mempertahankan tanah mereka. Bagi mereka, bertani adalah hidup mereka. Dengan bekerja di pabrik atau di perusahaan tambang, menjadi pekerja-upahan, meninggalkan tanah mereka dan menjadi pengungsi adalah sebuah pengorbanan otonomi mereka, jalan hidup mereka dan kebebasan mereka, yang tidak akan dapat mereka terima. Pera petani yang kami ajak berbincang menginginkan agar investor dari Perth dan Australia yang terlibat dalam proyek ini agar mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, agar mengetahui bahwa mereka tengah melancarkan usaha penggusuran secara paksa dan kejam kepada para petani dari tanah mereka sendiri. Apabila para investor mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, dan bahwa mereka saat ini tidaklah mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, mereka akan secara sadar terlibat dalam sebuah tindakan penyerangan terhadap komunitas yang otonom dan mereka telah menjadi musuh kebebasan.

Pak Tukijo—salah satu koordinator PPLP, ketika mencoba mencari informasi mengenai proses pertambangan dan polemik kepemilikan tanah, telah dituduh melakukan penyerangan serupa penghinaan (pencemaran nama baik). Pada persidangan terakhir, seribu petani menunjukkan kekuatan mereka dan solidaritas untuk kawan mereka. Sebelum demonstrasi, (kami) dua orang kulit putih satu-satunya yang tampil ditahan oleh polisi, dan hanya akan dibebaskan setelah demonstrasi berakhir. Polisi menyatakan bahwa mereka takut kalau “media massa akan menyadari bahwa kampanye solidaritas Kulon progo telah mencapai level internasional”. Signifikansi solidaritas internasional juga disampaikan oleh petani Kulon progo yang meminta para aktifis Australia untuk melakukan aksi kampanye perlawanan terhadap investor dan perusahaan Australia tersebut. Hari ini kami mengungkap isu tersebut dan juga tentang partisipasi Indo Mines dan Kimberley Diamonds di dalamnya, kami menuntut agar dua perusahaan tersebut memahami situasi penolakan yanga ada dan kemudian menarik segala upaya mereka untuk proyek pertambangan. Dan apabila mereka tidak dapat mendengar tuntutan kami, maka setiap orang yang membaca pesan ini di Perth yang berniat terlibat dalam even-even yang lebih jauh, tentang informasi dan kampanye solidaritas untuk mencegah kapital Australia berkembang dapat mengirim imel ke KPSolidaritas[at]riseup.net. Melbourne Anarchist Club (MAC) juga telah memulai aksi solidaritas di Melbourne, kontak mereka adalah kpsoli@gmail.com dan website http://kpsolidarity.wordpress.com/

Di samping semuanya, dari kunjungan kami, kami mempelajari bawa para petani Kulon Progo adalah sebuah komunitas yang lugu/baik, yang hanya ingin hidup sendiri tanpa otoritas untuk menanam tanaman mereka dan hidup tanpa campur tangan negara dan kapital. Dan selayaknya harimau yang tersudut, mereka tidak takut untuk secara militan mempertahankan kebebasan mereka dari ancaman semua orang di luar mereka. Kekuatan dari kampanye mereka berasal dari kesadaran politik mereka yang cerdas, penggunaan konsensus dalam proses pembuatan keputusan, ketidakpercayaan mereka terhadap negara dan kapital, penolakan mereka terhadap sistem perwakilan, mediasi dan LSM, penekanan mereka pada solidaritas, mutualisme, aksi langsung dan selebihnya, komitmen absolut mereka pada tanah dan kebebasan.

Foto di bawah ini adalah foto di sebuah ladang di Kulon Progo pada waktu panen semangka dan pada waktu demonstrasi di luar pengadilan selama sidang putusan Pak Tukijo.

Link: http://perth.indymedia.org/?action=newswire&parentview=150334

Perlawanan eksekusi lahan Warga Pandang Raya: Potret resistensi miskin kota melawan ekspansi kapital


Makassar, 23 Februari 2010

Pandang Raya adalah sebuah pemukiman kecil seluas 4900m2. Posisinya yang strategis, berada di tengah kota dan diapit oleh perumahan dan pusat perbelanjaan terbesar di kota ini, tentu adalah incaran bagi mereka yang tergiur akan peluang investasi di lokasi tersebut. Sama halnya yang terjadi di beberapa tempat lainnya, yang hilang dan terpinggirkan oleh pesatnya pembanguan infrastruktur, pandang raya kini menghadapi ancaman yang sama. Lahan kecil yang hanya dihuni oleh sekitar 40 rumah ini merupakan lahan emas yang kini diklaim oleh seorang bernama Goman Wisan, pengusaha kakao yang berdomisili di kota Palu.
Kasus sengketa ini telah berjalan lama dan menjalani proses persidangan yang memenangkan si pengusaha dan menetapkan keputusan eksekusi lahan tersebut. Surat keputusan ekseskusi tanah berapa kali telah dikeluarkan pengadilan tinggi. Eksekusi pertama gagal dijalankan oleh perlawanan warga setempat, begitu pula dengan ekseskusi kedua juga batal oleh serangkaian aksi yang dilakukan warga di beberapa instansi yaitu BPN, Pengadilan Negeri Makassar, dan Polwiltabes. Warga terus melakukan perlawanan dan mempertahankan lahan serta mencari dukungan solidaritas. Selain secara psinsipil bahwa tanah tersebut merupakan tempat hidup dan bernaung mereka selama berpuluh-puluh tahun, tanah tersebut adalah hak milik mereka yang sah, karena jelas bahwa tanah yang diklaim oleh si pengusaha berada di lokasi yang salah berdasarkan surat-surat tanah yang tertera. Tetapi bagaimanapun legalitas hukum yang dimiliki, kepentingan modal tetap mengambil kuasa. 23 Februari 2010 Eksekusi lahan kembali ditetapkan oleh pengadilan tinggi.


Sejak pagi warga setempat telah bersiap menyiapkan strategi, taktik serta amunisi untuk menghadapi eksekusi. Lokasi yang diapit oleh perumahan dan pusat perbelanjaan ini, dihubungkan oleh sebuah jalan diblokade dua arah oleh warga. Berjarak 100 meter dari pemukiman, jalan tersebut ditutup oleh drum panjang dan kawat duri. Batu-batu dari pinggiran jalan dan bambu runcing dikumpulkan warga sebagai amunisi bertahan mereka. Bersama sejumlah mahasiswa dan organ yang bersolidaritas atas ancaman eksekusi ini, menutup jalan sambil berorasi. Sekitar pukul 09:00 pagi satuan kepolisian dari Polsek makasaar timur dikerahkan menuju lokasi lahan. Terdapat 10 mobil PHH atau sekitar 300 satuan aparat diturunkan untuk proses eksekusi ini. Kedatangan aparat serentak membuat situasi mulai memanas, warga mulai bersiap menghadapi aparat yang telah menyusun formasi dengan tameng lengkap.

Saat memulai menyusun formasinya, Sesuatu yang menarik terjadi. Dihadapan aparat kepolisian, warga menyembelih seekor kambing sebagai simbol bahwa apapun yang terjadi mereka akan terus bertahan dan melawan sampai titik darah penghabisan. Ungkapan sakral dari sebuah perlawanan, yang sering mereka utarakan. Hal ini terlihat dari psikologi dan mental yang begitu siap menghalangi eksekusi walau secara kuantitas, jumlah mereka sangat kecil.

Selang beberapa lama aparat mulai mendekati blokade warga. Spontan membuat warga serempak lebih bersiaga. Aparat bergerak maju dan mendekati blokade depan.Warga berteriak memberikan ultimatum agar aparat tidak bergerak maju tetapi tetap saja mereka terus mendekati blockade yang dipasang warga. Keadaan makin memanas, saat polisi mendekat, spontan warga bertahan dengan melemparkan batu ke arah polisi dari sinilah bentrok terjadi. Batu-batu terus dilemparkan, senjata minimal yang bisa digunakan warga untuk menghalangi kemungkinan terburuk terjadinya pembongkaran rumah mereka. Polisi terus bergerak, hingga mampu melewati blokade utama, pertahanan warga mulai terhambur, belum lagi oleh persediaan amunisi yang semakin sedikit. Tapi keadaan kembali berubah, saat beberapa orang melemparkan Molotov. Beberapa orang dari polisi terkena lemparan tersebut, seorang bahkan terkena bakar dan membuat formasi mereka berhamburan dan memecah. Kelabakan oleh lemparan yang terus diarahkan, satuan polisi kemudian mundur. Tetapi keadaan belum mereda, karena formasi atau ring kepolisian pertama diganti oleh Dalmas yang bertameng besi. Dalam cuaca yang cukup panas, satuan ini merengsek maju dan langsung menembakkan gas air mata kearah warga. Dua kali tembakan terus dilemparkan, menyebabkan warga berhamburan karena merasakan perih dan sesak oleh hirupan gas, sambil terus bertahan dengan melempar batu dan Molotov.


Tetapi kembali sesuatu menarik yang terjadi, saat kondisi alam seolah memihak pada pertahanan warga. Oleh arah angin, gas air mata yang dilemparkan justru kembali mengarah ke kerumunan aparat dan membuat mereka juga berhamburan. Lemparan batu yang tersisa, akhirnya melemahkan dan memundurkan dalmas. Saat mereka mundur, warga kembali menyiapkan amunisi batu dan Molotov untuk menghadapi kemungkinan serangan yang kembali datang. Hingga beberapa waktu polisi, masih menahan diri sampai akhirnya seorang dari pimpinan kepolisian meminta perwakilan warga untuk bernegosiasi. Keadaan mereda, saat keputusan eksekusi hari itu kembali dibatalkan. Luapan kegembiraan serentak diekpresikan dengan bersorak dan bernyayi terlebih saat satuan aparat dipulangkan dan meninggalkan lokasi mereka. Bentrokan antara warga dan aparat ini berlangsung kurang dari satu jam, keadaan mereda menjelang pukul 12:00.



Kata ‘anarkis” selalu identik oleh kerusuhan dan bentrok. Dilekatkan dengan pengrusakan, lemparan batu, dan tindakan sejenisnya. Merusak makna sesungguhnya bahwa aksi-aksi demikian justru adalah cara untuk mendapatkan kehidupannya. Luapan amarah dari lemparan batu dan Molotov, lagi-lagi dalam pandangan mainstream terlebih oleh media, tiada hentinya mencekoki kita dengan sesuatu yang sifatnya bar-bar dan rusuh. Tetapi sama sekali tidak pernah memandang bahwa cara inilah yang dipaksakan kepada mereka untuk menghadapi kekerasaan yang sesungguhnya dari Negara dan Kapital. Yang tidak akan pernah sebanding hanya dengan lemparan batu dan Molotov itu. Lucunya, medialah yang semakin mendapatkan nyawa dari situasi seperti ini.

Apa yang terjadi di Pandang Raya hari itu adalah sekian dari potret tersebut. Bentuk resistensi warga miskin kota yang bertahan untuk tetap terselip di ruang-ruang kota, walau mereka terus dipaksa dan diusir untuk kepentingan modal (pengusaha) yang terbelalak oleh investasi di lahan kehidupan mereka.

Apakah mereka akan mendapatkan kemenangan? Tak ada yang bisa menjawab, selain bagaimana warga haru terus bersiap mengantungi batu dan amunisi untuk terus bertahan.

Finally…

24 Februari 2010.



Kronologis :
Jarak 100meter dari pemukiman . PHH 10 mobil, mereka datang jam 9:26. ..warga memasang blockade ke2, terdiri dari bale bambu. warga siap sejak jam 8, menyiapkan amunsi : blockade pertama bagian barat berupa drum besar, dan kawat duri. Begitu jg sebelah timur, amunisi lain batu, bambu runcing. Yang mayoritas digunakan oleh peserta aksi. Parang, polisi tiba lemparan Molotov. Sekitar 300 aparat keamanan dari maktim, jumlah warga bersama mahasiswa sekitar 200..setelah orasi, polisi yang tiba 60 menit kemudian datang masang formasi dan tameng lengkap..5 menit kemudian mulai maju mendekati blockade 1. Warga yang memberi ultimatum agar tidak bergerak maju melempari dengan batu. Setelah itu polisi makin maju dan melewati blockade pertama. Molotov mulai dilepmarakan. 3 orang aparat terkena lemparan Molotov. Formasi mulai berhamburan, ring pertama mundur. Dan digantikan oleh ring kedua yaitu dari dalmas dengan tameng besi. Setelah dalmas menrangsek maju, gas air mata mulai ditembakkan ke arah warga. 2 kali tembakan gas iar mata, yang pertama perlawanan makin memicu perlawanan dari warga. tembakan Molotov kedua yang diarahkan kekerumunan warga membuat warga berhamburan. Dibantu oleh kondisi alam khusunya arah angin yang mengarah ke arah polisi. Membuat aparat juga terkena dampak dari gas air mata. Pasca ini, polisi tetap bertahan dan warga yang kehabisan amunisi menyiapkan amunisi baru. Hal ini menyebabkan polisi menahan diri dan meminta perwakilan untuk tidak menyerang. Polisi menarik pasukannya. Eksekusi ditunda dan warga bersorak atas gagalnya eksekusi hari ini.

Tentang Korporasi, Negara, dan Posisi Korban: Sebuah Wawancara Dengan Mereka yang Masih Melawan

Menurut Cak Ir[1], apakah ada keuntungan yang diperoleh oleh masyarakat dengan hadirnya korporasi di lingkungan Cak Ir?

Pada dasarnya masyarakat tertipu dengan kehadiran korporasi. Tertipu dengan kehidupan yang lebih baik, jaminan kerja, punya uang lebih banyak, lebih modern, lebih enak. Di Besuki[2], pertama kali masyarakat tertipu adalah saat dimulainya pembangunan jalan tol. Pembangunan jalan tol tersebut, disosialiasikan kepada masyarakat sebagai pembangunan jalan raya yang akan bisa diakses oleh masyarakat sekitarnya. Masyarakat beranggapan dengan jalan raya tersebut, akan banyak kemudahan yang bisa diperoleh. Jalanan juga akan lebih enak karena diaspal. Ternyata yang dibangun adalah jalan tol yang tidak bisa diakses oleh masyarakat. Semenjak adanya jalan tol tersebut, mobil-mobil mewah berseliweran sementara masyarakat tidak bisa mendapatkan itu dan hanya menjadi penonton saja. Industri pun mulai subur menggeser lahan pertanian. Pabrik pertama yang berdiri adalah Pertamina.

Kerugian utama yang dirasakan masyarakat dengan adanya jalan tol tersebut adalah secara geografis masyarakat menjadi terbelah dua: Besuki timur tol dan Besuki barat tol. Letak desa yang telah terbelah ini juga membawa kerepotan yang lain. Jika ingin mengunjungi rumah saudara yang letaknya satu desa jalannya harus muter-muter. Padahal sebelumnya mengunjungi saudara atau teman begitu lancar karena desa belum terbelah oleh jalan tol itu.


Tanpa kehadiran korporasi, sebenernya warga tetep bisa hidup dan malah akan membuat kondisi lebih nyaman. Sebelum ada pabrik, masyarakat hidup dengan bertani dan kondisinya lebih baik dari sekarang ini.

Cak Ir menyebutkan bahwa dengan pertanian kondisi lebih baik. Tapi apakah hal itu memadai karena tidak semua orang memiliki lahan?

Pertanian yang ada selama ini sebenarnya mendukung kehidupan masyarakat. Di desa terdapat lumbung padi di mana masyarakat bisa meminjam padi di sana jika sedang kekurangan. Padi yang dipinjam tersebut dibayar oleh sang peminjam pada saat panen. Dengan adanya pembangunan, hal-hal seperti itu semakin terkikis. Gotongroyong pun semakin hilang, selain tinggal acara gotongmayat saat ada yang meninggal.

Intinya, tak ada satu pun keuntungan yang diperoleh masyarakat dari hadirnya korporasi, baik itu Lapindo Brantas maupun pabrik lainnya. Masyarakat hanya tertipu. Tertipu dengan taraf hidup yang lebih baik, dapat pekerjaan, modernisasi. Padahal apakah orang kerja di pabrik itu bisa selamanya? Paling lama orang kerja di pabrik hanya dua atau tiga tahun. Setelah itu, usianya akan menua dan akan digantikan dengan orang lain yang lebih muda dan kreatif. Padahal saat dia bekerja di pabrik, dia sudah menggantungkan hidupnya hanya ke pekerjaannya di pabrik. Ketika dia sudah tidak terpakai, dia sudah tidak tahu lagi harus berbuat apa.

Sewaktu zaman saya masih kecil, hasil panen yang diperoleh tidak semuanya dijual tapi juga disimpan. Tapi sekarang kondisi tidak lagi seperti itu. Saat mendapat hasil panen, para petani tidak lagi membawa beras tapi uang. Akhirnya dia jadi konsumtif, beli barang ini dan barang itu. Pada saat menjelang musim tanam, uangnya sudah tidak ada lagi.

Jika masyarakat tertipu oleh korporasi dan pembangunan, apakah hal itu mempengaruhi hubungan sosial?

Yang jelas-jelas hilang adalah alat produksi pertanian (sawah). Tanpa adanya alat produksi, bagaimana seorang petani dapat berproduksi? Bagaimana petani dapat menghidupi kehidupannya? Dengan pembangunan dan hadirnya korporasi, sawah-sawah para petani digusur dan dihilangkan. Memang sih, sawah para petani dibeli dengan harga mahal untuk proyek pembangunan dan pendirian pabrik. Tapi uang untuk membeli sawah lagi di tempat lain juga tidak murah. Di lain pihak, dengan kondisi mereka yang kemudian punya uang banyak, kebanyakan masyarakat tidak menggunakan uangnya untuk membeli tanah di tempat lain. Ketika uangnya sudah habis, mereka memilih untuk mencari kerja di pabrik yang telah menggusur sawah mereka. Hal ini sebenarnya adalah penghancuran kebebasan. Sawah yang tadinya adalah penghidupan petani dikuasai oleh orang lain. Secara tidak sadar, kita sedang dibeli oleh orang lain. Setelah sawah sudah tidak ada lagi, kita terus-terusan menghamba pada mereka, orang-orang yang sebelumnya tidak kita kenal. Kita jadi tidak bebas lagi.

Dalam kehidupan sehari-hari pun mulai terjadi kompetisi. Dalam hal kerja, misalnya. Untuk masuk kerja pun pihak pabrik lebih memilih orang yang sebelumnya sudah punya uang untuk nyogok. Dari sini jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin semakin lebar. Yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Termasuk kompetisi di bidang konsumerisme. Misalnya, sekarang aku sudah punya televisi loh, aku sudah punya motor baru... Orang-orang jadi lebih senang mengumpulkan barang-barang yang sebenernya tidak mereka butuhkan. Orang-orang jadi tidak kreatif dan menjadi individualistik.

Kerugian apakah yang paling menonjol dari perubahan tersebut?

Hubungan sosial hanya dinilai dengan uang. Dengan dominasi uang, orang-orang semakin menghalalkan segala cara untuk menguasai. Gotongroyong juga semakin terkikis. Misalnya, dalam kerjabakti atau ronda. Seseorang bisa membayar orang lain untuk menggantikan dirinya untuk kerjabakti atau ronda. Uang juga memisah-misahkan antara manusia yang satu dengan yang lainnya, dan mulai membangun status-status sosial yang memisahkan. Misalnya orang kaya males berhubungan dengan orang miskin, dan sebaliknya, orang miskin merasa minder dengan orang kaya.

Bukankah uang telah lebih dulu ada bahkan sebelum industrialisasi tumbuh subur?

Sebelum industrialisasi seperti sekarang, uang memang sudah ada, tapi tidak terlalu signifikan dan tidak semenggila seperti sekarang. Orang-orang masih terbiasa untuk saling mengunjungi dan suasana kekeluargaan benar-benar hidup. Misalnya ada orang sakit, dengan kesadarannya sendiri orang-orang saling membantu orang lainnya. Lalu pada hari raya misalnya, orang-orang bisa saling mengunjungi hampir ke semua rumah. Suasana ramai bisa berlangsung sampai seminggu penuh. Sekarang suasana tidak lagi seramai dulu. Di hari ketiga lebaran saja, orang-orang sudah memikirkan pekerjaannya. Hal lainnya karena adanya teknologi juga. Dengan adanya HP, orang merasa sudah cukup bersilaturahmi hanya dengan mengirimkan sms atau menelpon tanpa perlu bertatap muka.

Dengan posisi saat ini, di mana posisi negara?

Justru negara melindungi orang-orang kaya dan para korporat untuk menghisap masyarakat. Bakrie tidak mungkin bisa ada di porong tanpa izin Bupati atau Gubernur. Pemerintahlah, yang bersama korporasi menghancurkan kehidupan masyarakat. Pemerintah tidak pernah sekali pun melindungi masyarakat. Justru masyarakat ditakut-takuti oleh mereka. Contohnya saat pembebasan tanah dan pembangunan jalan tol. Jika masyarakat tidak mau menjual tanahnya, diancam telah menghambat langkah pembangunan.

Apa sih yang bisa diberikan oleh negara untuk kita? Negara hanya memungut pajak dan sebagainya demi keuntungan diri mereka sendiri. Masyarakat tetap menjadi sampah. Tapi kebanyakan orang tidak sadar bahwa negara itu dibiayai oleh masyarakat. Karena itu, masyarakat masih banyak yang merasa takut terhadap negara.

Berarti negara adalah institusi yang perlu dilawan juga dong?

Dengan sekuat tenaga dan pikiran negara harus dilawan. Tanpa negara masyarakat tetap bisa hidup ko. Memang masyarakat pada umumnya takut jika tak ada negara maka hidupnya akan dijajah oleh negara lain. Kenyataannya, sebelum dijajah negara lain kita telah dijajah oleh negara kita sendiri. Lagian memangnya jika akan dijajah negara lain apakah kita akan diam saja? Ketika tidak ada negara, kita bisa bikin peraturan kita sendiri, hidup berkelompok, dan mencari solusi sendiri. Negara tidak menjamin apa-apa. Buktinya banyak undang-undang tapi tidak pernah beres. Belum lagi undang-undang itu tidak pernah lebih dahulu ditanyakan ke kita. Saat kita akan melakukan sesuatu, kita tidak tahu apa-apa tiba-tiba dituduh melanggar dan dikenai sangsi.

Jika Cak Ir merasa korporasi hanya mampu merusak dan negara juga menindas, lalu di manakah posisi Cak Ir?

Jika kita hanya terus menerus diam, jelas kita adalah korban karena kita tidak berdaya. Kita jadi tidak bebas lagi dan hanya mengikuti peraturan yang ada. Contohnya dalam kasus lapindo, soal penentuan peta terdampak dan bukan[3]. Seharusnya dalam kasus ini, siapa pun yang merasa hidupnya menjadi rusak karena Lapindo adalah korban—bukan berdasarkan wilayah yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

Agar tidak terus menerus menjadi korban, kita harus menghancurkan mereka yang telah merusak hidup kita. Tanpa menghancurkan korporasi dan negara, tidak akan pernah ada kehidupan baru yang lebih baik. Kita mungkin bisa pindah ke tempat lain, tapi selama korporasi dan negara tetap ada, mereka juga akan tetap menghancurkan kita di tempat yang lain. Kita tidak hanya sekedar menuntut kehidupan baru yang lebih baik, tapi juga harus menghancurkan korporasi dan negara karena mereka memang perusak dan penindas itu sendiri.

Dalam konteks kasus Lapindo, masyarakat pada umumnya hanya menuntut kompensasi. Dengan posisi seperti itu korporasi dapat dengan mudah meremehkan kita. Mereka akan menganggap kita tidak punya kemampuan melawan dan tidak akan berani menuntut sesuatu di luar skema yang telah ditetapkan oleh pemerintah dan korporasi. Masyarakat pada umumnya tidak sadar bahwa korporasi selalu punya cara untuk mengelit sehingga masyarakat akan selalu kalah. Contoh lainnya adalah harga tanah (yang diklaim oleh Lapindo dan pemerintah sebagai harga ganti rugi)[4] yang semula satu juta per meter persegi akan diganti menjadi 900 ribu per meter persegi. Nanti, belum lagi uang itu turun, mereka akan dengan mudah menurunkan harga secara sepihak. Masyarakat harus sadar bahwa masyarakat akan selalu dalam posisi yang lemah jika berada dalam medan perang mereka.

Apa yang telah Cak Ir lakukan untuk melawan perusakan dan penindasan tersebut?

Selama ini saya mencoba untuk membangun kesadaran bersama teman-teman bahwa bagaimanapun jika kita hanya menuntut kompensasi tanpa menuntut si perusak dihukum, maka kita akan selalu dibayangi ketakutan-ketakutan. Hal ini tidak berlaku hanya untuk kasus Lapindo saja. Di manapun korporasi-korporasi dan orang-orang kaya akan berlaku seperti itu. Yang menghancurkan gunung, membuang limbah ke laut, yang membikin hutan gundul itu bukan orang miskin tapi korporasi dan orang-orang kaya itu. Korporasi dan orang-orang kaya harus dihentikan. Untuk saat ini, karena negara masih ada, maka negara yang harus menghukum mereka. Tapi jika negara memang tidak bisa, masyarakat sendirilah yang harus menghukum si perusak ini. Kasus lapindo ini sudah berjalan selama hampir 4 tahun dan negara sama sekali tidak berbuat apa pun. Hukum bisa dibeli dan dibohongi. Karenanya masyarakat sendirilah yg harus menghukum si perusak. Misalnya dengan menduduki kantor dan menghentikan aktifitasnya. Sayangnya, masyarakat pada umumnya masih belum berani dan sadar untuk melakukan hal ini. Mereka masih menginginkan kompensasi saja, hanya sebatas itu.


CATATAN:

[1] Cak Ir adalah panggilan akrab Muhamad Irsyad, seorang pejuang yang tetap teguh melawan Lapindo dan negara semenjak pertama kali kasus luapan Lumpur Lapindo. Lelaki yang dulunya petani ini pernah berkali-kali mendapatkan teror seperti ancaman fisik, rumahnya dibakar, dan yang terakhir rumahnya dilempar batu sebesar kepala bayi. Sampai sekarang lelaki yang tinggal di Besuki Timur ini masih sering dianggap provokator oleh orang-orang konservatif di desanya karena mengadvokasikan perlawanan tanpa henti terhadap Lapindo dan negara. Berbagai kegiatan yang dilakukan oleh ayah dari 3 anak ini di antaranya adalah, kampanye kejahatan Lapindo, demonstrasi melawan Lapindo, pembangunan komunitas Al-Faz (diskusi, perpustakaan komunitas, kegiatan bermain bersama anak-anak), dan lain-lain.

[2] Besuki adalah nama desa di Kelurahan Jabon, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Setelah ada jalan tol Surabaya – Gempol, desa Besuki terbelah menjadi dua bagian: Besuki Barat dan Besuki Timur.

[3] Sampai saat ini, penentuan peta terdampak luapan Lumpur Lapindo berdasarkan Perpres no 14 tahun 2007, Perpres no 48 tahun 2008, dan Perpres no 40 tahun 2009. “Peta terdampak” adalah istilah di mana suatu wilayah terkena dampak dari luapan Lumpur Lapindo sehingga berhak mendapatkan ganti rugi. Tidak semua desa mendapatkan ganti rugi. Dalam Perpres no 14 tahun 2007, hanya empat desa yang dikategorikan berhak mendapatkan ganti rugi, yaitu Renokenongo, Jatirejo, Siring (ketiganya masuk dalam Kecamatan Porong), dan Kedungbendo (Kecamatan Tanggulangin). Perpres no 48 tahun 2008 hanya memasukkan 3 desa dari Kecamatan Jabon, yaitu Kedungcangkring, Pejarakan, dan Besuki Barat. Sementara Perpres no 40 tahun 2009 hanya memasukkan Siring Barat, Jatirejo Barat, dan 3 RT dari desa Mindi (semuanya Kecamatan Porong). Pembagian wilayah yang jelas diskriminatif ini membuat perpecahan horisontal dan kecemburuan sosial. Padahal ada banyak desa-desa lain yang merasakan dampak nyata dari luapan Lumpur Sidoarjo.

[4] Lapindo dan pemerintah konsisten menggunakan frasa yang sama, “ganti rugi”, sebagai kalimat ganti dari “jual beli”. Dalam kasus luapan Lumpur Lapindo, masyarakat sama sekali tidak mendapatkan ganti rugi, yang terjadi adalah aset masyarakat (yang daerahnya telah ditetapkan masuk ke dalam peta terdampak) dibeli oleh Lapindo dan pemerintah. Desa-desa yang masuk peta terdampak lewat Perpres no 14 tahun 2007, asetnya akan dibeli oleh Lapindo. Untuk desa-desa yang masuk peta terdampak lewat Perpres no 48 tahun 2008, asetnya akan dibeli oleh pemerintah. Sementara desa-desa yang masuk peta terdampak lewat Perpres no 40 tahun 2009 asetnya tidak dibeli. Pemerintah hanya memberi kompensasi uang kontrak selama satu tahun sebesar Rp. 2,5 juta per kepala keluarga dan jatah hidup sebesar Rp. 300 ribu per jiwa selama enam bulan.