Menurut Cak Ir[1], apakah ada keuntungan yang diperoleh oleh masyarakat dengan hadirnya korporasi di lingkungan Cak Ir?
Pada dasarnya masyarakat tertipu dengan kehadiran korporasi. Tertipu dengan kehidupan yang lebih baik, jaminan kerja, punya uang lebih banyak, lebih modern, lebih enak. Di Besuki[2], pertama kali masyarakat tertipu adalah saat dimulainya pembangunan jalan tol. Pembangunan jalan tol tersebut, disosialiasikan kepada masyarakat sebagai pembangunan jalan raya yang akan bisa diakses oleh masyarakat sekitarnya. Masyarakat beranggapan dengan jalan raya tersebut, akan banyak kemudahan yang bisa diperoleh. Jalanan juga akan lebih enak karena diaspal. Ternyata yang dibangun adalah jalan tol yang tidak bisa diakses oleh masyarakat. Semenjak adanya jalan tol tersebut, mobil-mobil mewah berseliweran sementara masyarakat tidak bisa mendapatkan itu dan hanya menjadi penonton saja. Industri pun mulai subur menggeser lahan pertanian. Pabrik pertama yang berdiri adalah Pertamina.
Kerugian utama yang dirasakan masyarakat dengan adanya jalan tol tersebut adalah secara geografis masyarakat menjadi terbelah dua: Besuki timur tol dan Besuki barat tol. Letak desa yang telah terbelah ini juga membawa kerepotan yang lain. Jika ingin mengunjungi rumah saudara yang letaknya satu desa jalannya harus muter-muter. Padahal sebelumnya mengunjungi saudara atau teman begitu lancar karena desa belum terbelah oleh jalan tol itu.
Tanpa kehadiran korporasi, sebenernya warga tetep bisa hidup dan malah akan membuat kondisi lebih nyaman. Sebelum ada pabrik, masyarakat hidup dengan bertani dan kondisinya lebih baik dari sekarang ini.
Cak Ir menyebutkan bahwa dengan pertanian kondisi lebih baik. Tapi apakah hal itu memadai karena tidak semua orang memiliki lahan?
Pertanian yang ada selama ini sebenarnya mendukung kehidupan masyarakat. Di desa terdapat lumbung padi di mana masyarakat bisa meminjam padi di sana jika sedang kekurangan. Padi yang dipinjam tersebut dibayar oleh sang peminjam pada saat panen. Dengan adanya pembangunan, hal-hal seperti itu semakin terkikis. Gotongroyong pun semakin hilang, selain tinggal acara gotongmayat saat ada yang meninggal.
Intinya, tak ada satu pun keuntungan yang diperoleh masyarakat dari hadirnya korporasi, baik itu Lapindo Brantas maupun pabrik lainnya. Masyarakat hanya tertipu. Tertipu dengan taraf hidup yang lebih baik, dapat pekerjaan, modernisasi. Padahal apakah orang kerja di pabrik itu bisa selamanya? Paling lama orang kerja di pabrik hanya dua atau tiga tahun. Setelah itu, usianya akan menua dan akan digantikan dengan orang lain yang lebih muda dan kreatif. Padahal saat dia bekerja di pabrik, dia sudah menggantungkan hidupnya hanya ke pekerjaannya di pabrik. Ketika dia sudah tidak terpakai, dia sudah tidak tahu lagi harus berbuat apa.
Sewaktu zaman saya masih kecil, hasil panen yang diperoleh tidak semuanya dijual tapi juga disimpan. Tapi sekarang kondisi tidak lagi seperti itu. Saat mendapat hasil panen, para petani tidak lagi membawa beras tapi uang. Akhirnya dia jadi konsumtif, beli barang ini dan barang itu. Pada saat menjelang musim tanam, uangnya sudah tidak ada lagi.
Jika masyarakat tertipu oleh korporasi dan pembangunan, apakah hal itu mempengaruhi hubungan sosial?
Yang jelas-jelas hilang adalah alat produksi pertanian (sawah). Tanpa adanya alat produksi, bagaimana seorang petani dapat berproduksi? Bagaimana petani dapat menghidupi kehidupannya? Dengan pembangunan dan hadirnya korporasi, sawah-sawah para petani digusur dan dihilangkan. Memang sih, sawah para petani dibeli dengan harga mahal untuk proyek pembangunan dan pendirian pabrik. Tapi uang untuk membeli sawah lagi di tempat lain juga tidak murah. Di lain pihak, dengan kondisi mereka yang kemudian punya uang banyak, kebanyakan masyarakat tidak menggunakan uangnya untuk membeli tanah di tempat lain. Ketika uangnya sudah habis, mereka memilih untuk mencari kerja di pabrik yang telah menggusur sawah mereka. Hal ini sebenarnya adalah penghancuran kebebasan. Sawah yang tadinya adalah penghidupan petani dikuasai oleh orang lain. Secara tidak sadar, kita sedang dibeli oleh orang lain. Setelah sawah sudah tidak ada lagi, kita terus-terusan menghamba pada mereka, orang-orang yang sebelumnya tidak kita kenal. Kita jadi tidak bebas lagi.
Dalam kehidupan sehari-hari pun mulai terjadi kompetisi. Dalam hal kerja, misalnya. Untuk masuk kerja pun pihak pabrik lebih memilih orang yang sebelumnya sudah punya uang untuk nyogok. Dari sini jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin semakin lebar. Yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Termasuk kompetisi di bidang konsumerisme. Misalnya, sekarang aku sudah punya televisi loh, aku sudah punya motor baru... Orang-orang jadi lebih senang mengumpulkan barang-barang yang sebenernya tidak mereka butuhkan. Orang-orang jadi tidak kreatif dan menjadi individualistik.
Kerugian apakah yang paling menonjol dari perubahan tersebut?
Hubungan sosial hanya dinilai dengan uang. Dengan dominasi uang, orang-orang semakin menghalalkan segala cara untuk menguasai. Gotongroyong juga semakin terkikis. Misalnya, dalam kerjabakti atau ronda. Seseorang bisa membayar orang lain untuk menggantikan dirinya untuk kerjabakti atau ronda. Uang juga memisah-misahkan antara manusia yang satu dengan yang lainnya, dan mulai membangun status-status sosial yang memisahkan. Misalnya orang kaya males berhubungan dengan orang miskin, dan sebaliknya, orang miskin merasa minder dengan orang kaya.
Bukankah uang telah lebih dulu ada bahkan sebelum industrialisasi tumbuh subur?
Sebelum industrialisasi seperti sekarang, uang memang sudah ada, tapi tidak terlalu signifikan dan tidak semenggila seperti sekarang. Orang-orang masih terbiasa untuk saling mengunjungi dan suasana kekeluargaan benar-benar hidup. Misalnya ada orang sakit, dengan kesadarannya sendiri orang-orang saling membantu orang lainnya. Lalu pada hari raya misalnya, orang-orang bisa saling mengunjungi hampir ke semua rumah. Suasana ramai bisa berlangsung sampai seminggu penuh. Sekarang suasana tidak lagi seramai dulu. Di hari ketiga lebaran saja, orang-orang sudah memikirkan pekerjaannya. Hal lainnya karena adanya teknologi juga. Dengan adanya HP, orang merasa sudah cukup bersilaturahmi hanya dengan mengirimkan sms atau menelpon tanpa perlu bertatap muka.
Dengan posisi saat ini, di mana posisi negara?
Justru negara melindungi orang-orang kaya dan para korporat untuk menghisap masyarakat. Bakrie tidak mungkin bisa ada di porong tanpa izin Bupati atau Gubernur. Pemerintahlah, yang bersama korporasi menghancurkan kehidupan masyarakat. Pemerintah tidak pernah sekali pun melindungi masyarakat. Justru masyarakat ditakut-takuti oleh mereka. Contohnya saat pembebasan tanah dan pembangunan jalan tol. Jika masyarakat tidak mau menjual tanahnya, diancam telah menghambat langkah pembangunan.
Apa sih yang bisa diberikan oleh negara untuk kita? Negara hanya memungut pajak dan sebagainya demi keuntungan diri mereka sendiri. Masyarakat tetap menjadi sampah. Tapi kebanyakan orang tidak sadar bahwa negara itu dibiayai oleh masyarakat. Karena itu, masyarakat masih banyak yang merasa takut terhadap negara.
Berarti negara adalah institusi yang perlu dilawan juga dong?
Dengan sekuat tenaga dan pikiran negara harus dilawan. Tanpa negara masyarakat tetap bisa hidup ko. Memang masyarakat pada umumnya takut jika tak ada negara maka hidupnya akan dijajah oleh negara lain. Kenyataannya, sebelum dijajah negara lain kita telah dijajah oleh negara kita sendiri. Lagian memangnya jika akan dijajah negara lain apakah kita akan diam saja? Ketika tidak ada negara, kita bisa bikin peraturan kita sendiri, hidup berkelompok, dan mencari solusi sendiri. Negara tidak menjamin apa-apa. Buktinya banyak undang-undang tapi tidak pernah beres. Belum lagi undang-undang itu tidak pernah lebih dahulu ditanyakan ke kita. Saat kita akan melakukan sesuatu, kita tidak tahu apa-apa tiba-tiba dituduh melanggar dan dikenai sangsi.
Jika Cak Ir merasa korporasi hanya mampu merusak dan negara juga menindas, lalu di manakah posisi Cak Ir?
Jika kita hanya terus menerus diam, jelas kita adalah korban karena kita tidak berdaya. Kita jadi tidak bebas lagi dan hanya mengikuti peraturan yang ada. Contohnya dalam kasus lapindo, soal penentuan peta terdampak dan bukan[3]. Seharusnya dalam kasus ini, siapa pun yang merasa hidupnya menjadi rusak karena Lapindo adalah korban—bukan berdasarkan wilayah yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Agar tidak terus menerus menjadi korban, kita harus menghancurkan mereka yang telah merusak hidup kita. Tanpa menghancurkan korporasi dan negara, tidak akan pernah ada kehidupan baru yang lebih baik. Kita mungkin bisa pindah ke tempat lain, tapi selama korporasi dan negara tetap ada, mereka juga akan tetap menghancurkan kita di tempat yang lain. Kita tidak hanya sekedar menuntut kehidupan baru yang lebih baik, tapi juga harus menghancurkan korporasi dan negara karena mereka memang perusak dan penindas itu sendiri.
Dalam konteks kasus Lapindo, masyarakat pada umumnya hanya menuntut kompensasi. Dengan posisi seperti itu korporasi dapat dengan mudah meremehkan kita. Mereka akan menganggap kita tidak punya kemampuan melawan dan tidak akan berani menuntut sesuatu di luar skema yang telah ditetapkan oleh pemerintah dan korporasi. Masyarakat pada umumnya tidak sadar bahwa korporasi selalu punya cara untuk mengelit sehingga masyarakat akan selalu kalah. Contoh lainnya adalah harga tanah (yang diklaim oleh Lapindo dan pemerintah sebagai harga ganti rugi)[4] yang semula satu juta per meter persegi akan diganti menjadi 900 ribu per meter persegi. Nanti, belum lagi uang itu turun, mereka akan dengan mudah menurunkan harga secara sepihak. Masyarakat harus sadar bahwa masyarakat akan selalu dalam posisi yang lemah jika berada dalam medan perang mereka.
Apa yang telah Cak Ir lakukan untuk melawan perusakan dan penindasan tersebut?
Selama ini saya mencoba untuk membangun kesadaran bersama teman-teman bahwa bagaimanapun jika kita hanya menuntut kompensasi tanpa menuntut si perusak dihukum, maka kita akan selalu dibayangi ketakutan-ketakutan. Hal ini tidak berlaku hanya untuk kasus Lapindo saja. Di manapun korporasi-korporasi dan orang-orang kaya akan berlaku seperti itu. Yang menghancurkan gunung, membuang limbah ke laut, yang membikin hutan gundul itu bukan orang miskin tapi korporasi dan orang-orang kaya itu. Korporasi dan orang-orang kaya harus dihentikan. Untuk saat ini, karena negara masih ada, maka negara yang harus menghukum mereka. Tapi jika negara memang tidak bisa, masyarakat sendirilah yang harus menghukum si perusak ini. Kasus lapindo ini sudah berjalan selama hampir 4 tahun dan negara sama sekali tidak berbuat apa pun. Hukum bisa dibeli dan dibohongi. Karenanya masyarakat sendirilah yg harus menghukum si perusak. Misalnya dengan menduduki kantor dan menghentikan aktifitasnya. Sayangnya, masyarakat pada umumnya masih belum berani dan sadar untuk melakukan hal ini. Mereka masih menginginkan kompensasi saja, hanya sebatas itu.
CATATAN:
[1] Cak Ir adalah panggilan akrab Muhamad Irsyad, seorang pejuang yang tetap teguh melawan Lapindo dan negara semenjak pertama kali kasus luapan Lumpur Lapindo. Lelaki yang dulunya petani ini pernah berkali-kali mendapatkan teror seperti ancaman fisik, rumahnya dibakar, dan yang terakhir rumahnya dilempar batu sebesar kepala bayi. Sampai sekarang lelaki yang tinggal di Besuki Timur ini masih sering dianggap provokator oleh orang-orang konservatif di desanya karena mengadvokasikan perlawanan tanpa henti terhadap Lapindo dan negara. Berbagai kegiatan yang dilakukan oleh ayah dari 3 anak ini di antaranya adalah, kampanye kejahatan Lapindo, demonstrasi melawan Lapindo, pembangunan komunitas Al-Faz (diskusi, perpustakaan komunitas, kegiatan bermain bersama anak-anak), dan lain-lain.
[2] Besuki adalah nama desa di Kelurahan Jabon, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Setelah ada jalan tol Surabaya – Gempol, desa Besuki terbelah menjadi dua bagian: Besuki Barat dan Besuki Timur.
[3] Sampai saat ini, penentuan peta terdampak luapan Lumpur Lapindo berdasarkan Perpres no 14 tahun 2007, Perpres no 48 tahun 2008, dan Perpres no 40 tahun 2009. “Peta terdampak” adalah istilah di mana suatu wilayah terkena dampak dari luapan Lumpur Lapindo sehingga berhak mendapatkan ganti rugi. Tidak semua desa mendapatkan ganti rugi. Dalam Perpres no 14 tahun 2007, hanya empat desa yang dikategorikan berhak mendapatkan ganti rugi, yaitu Renokenongo, Jatirejo, Siring (ketiganya masuk dalam Kecamatan Porong), dan Kedungbendo (Kecamatan Tanggulangin). Perpres no 48 tahun 2008 hanya memasukkan 3 desa dari Kecamatan Jabon, yaitu Kedungcangkring, Pejarakan, dan Besuki Barat. Sementara Perpres no 40 tahun 2009 hanya memasukkan Siring Barat, Jatirejo Barat, dan 3 RT dari desa Mindi (semuanya Kecamatan Porong). Pembagian wilayah yang jelas diskriminatif ini membuat perpecahan horisontal dan kecemburuan sosial. Padahal ada banyak desa-desa lain yang merasakan dampak nyata dari luapan Lumpur Sidoarjo.
[4] Lapindo dan pemerintah konsisten menggunakan frasa yang sama, “ganti rugi”, sebagai kalimat ganti dari “jual beli”. Dalam kasus luapan Lumpur Lapindo, masyarakat sama sekali tidak mendapatkan ganti rugi, yang terjadi adalah aset masyarakat (yang daerahnya telah ditetapkan masuk ke dalam peta terdampak) dibeli oleh Lapindo dan pemerintah. Desa-desa yang masuk peta terdampak lewat Perpres no 14 tahun 2007, asetnya akan dibeli oleh Lapindo. Untuk desa-desa yang masuk peta terdampak lewat Perpres no 48 tahun 2008, asetnya akan dibeli oleh pemerintah. Sementara desa-desa yang masuk peta terdampak lewat Perpres no 40 tahun 2009 asetnya tidak dibeli. Pemerintah hanya memberi kompensasi uang kontrak selama satu tahun sebesar Rp. 2,5 juta per kepala keluarga dan jatah hidup sebesar Rp. 300 ribu per jiwa selama enam bulan.
No comments:
Post a Comment