Wednesday, April 22, 2009

Film dan Diskusi Sesi II - Tragedi Lumpur Lapindo

SAKSIKAN-FILM TRAGEDI LUMPUR LAPINDO!!!

Dalam Diskusi dan Film sesi II - 14.00 - 15.00 WIB beserta testimoni warga/korban dan diskusi.


Judul : TERUSIR DARI DESA SENDIRI
Durasi: 08:57


Alat-alat berat berderap memasuki pintu desa, truk-truk pengangkut
material sirtu siap sedia menumpahkan isi muatan, desa itu akan
ditenggelamkan. Oktober 2008 merupakan bulan bersejarah bagi warga
desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Sidoarjo. Bulan itu, adalah saat
terakhir mereka masih bisa melihat desanya, karena sesudahnya mereka
harus merelakan sedikit demi sedikit air bercampur Lumpur panas
menggenangi dan menenggelamkan desanya.

Memasuki bulan-bulan terakhir tahun 2008, kondisi tanggul disekitar
area semburan Lumpur panas Lapindo semakin kritis, musim hujan akan
segera datang, sementara pembuangan Lumpur melalui Kali Porong
mengalami ketersendatan. Keputusan untuk membuang Lumpur ke Kali
Porong akhirnya menunjukkan kutukannya. Tumpukan Lumpur yang cepat
mengering dengan segera menutup hampir semua bagian sungai dan hanya
menyisakan sedikit bagian yang bisa mengalirkan air. Membuang lumpur
terus menerus ke sungai akhirnya sampai ketahap maksimalnya, sungai
itu tidak bisa lagi menampung Lumpur. Debit air yang kecil tidak mampu
mendorong Lumpur ke laut, akibatnya, semua Lumpur itu mengendap dan
mengering menjadikan Kali Porong tak ubahnya lapangan baru. Sementara
semburan masih terus meluap, Lumpur harus dicarikan jalan agar tanggul
tidak jebol didaerah yang tidak mereka inginkan. Dan kesialan karena
kesalahan operasi itu ditimpakan kepada warga desa Renokenongo.

Desa Renokenongo adalah salah satu desa yang sudah masuk kedalam peta
area terdampak berdasar Peraturan Presiden 14/2007. Sebagian wilayah
desa ini sudah tenggelam pasca ledakan pipa gas pada 22 November 2006,
namun sebagian lagi masih ditinggali oleh warganya. Dan hingga bulan
Oktober 2008 itu, mereka sama sekali belum mendapatkan kompensasi
apapun dari pihak Lapindo Brantas. Mereka menolak melepas lahan mereka
untuk dijadikan tanggul baru, karena Lapindo selalu menggunakan dalih
keselamatan bersama untuk mengusir warga dan menenggelamkan desa,
namun pembayaran atas tanah warga yang tenggelam tidak pernah
diselesaikan. Warga desa Renokenongo meminta pembayaran terlebih
dahulu sebelum tanah mereka dijadikan kolam penampungan Lumpur (pond).

Tapi usaha mereka akhirnya kandas, 11 Oktober 2008 ribuan polisi
diturunkan untuk mengusir warga keluar dari desanya, 2 orang ditahan
karena mempertahankan tanahnya dan yang lainnya harus menerima
tindakan represif. Dengan tanpa kejelasan nasib akan status tanah
mereka, mereka dusir dari rumahnya sendiri, dari tanahnya sendiri,
dari desanya sendiri. Mendung bergayut diatas langit Renokenongo, saat
warga bergegas, berpacu dengan didirikannya tanggul dan luberan Lumpur
yang memasuki desa, mereka menyelamatkan apapun yang masih tersisa
untuk diselamatkan. Sedikit yang masih ada untuk bisa bertahan hidup,
setelah mereka kehilangan tanah, rumah dan kehidupan yang dirampas
begitu saja dari mereka.

Dengan dalih bahwa pembayaran akan segera diselesaikan, BPLS (Badan
Penanggulangan Lumpur Sidoarjo) dan Lapindo bersikeras bahwa warga
harus pergi dari desanya dan bahwa desa itu harus segera
ditenggelamkan. Tapi kembali lagi, janji Lapindo adalah buih kosong
yang selalu digunakan untuk membenarkan tindakannya. Hingga memasuki
November 2008, janji itu belum juga dilaksanakan, warga yang kecewa,
akhirnya melakukan pemblokiran akses masuk ke desa dan memaksa alat
berat berhenti bekerja, keinginan mereka untuk mendapat kejelasan
pembayaran atas tanah mereka yang ditenggelamkan sama sekali tidak
berbuah manis. Kembali mereka hanya menemukan kebohongan yang dipilin
bersama antara korporasi dan alat Negara. Dengan bermodalkan janji
bahwa urusan tanah warga sedang diproses dan bahwa warga harus sabar,
BPLS meminta warga tidak mengganggu kerja penanggulan. Bahkan
sesudahnya, warga Renokenongo harus diperhadapkan dengan warga desa
tetangga yang juga tidak ingin desanya tenggelam. Memilih untuk tidak
terjadi konflik, warga akhirnya merelakan desanya hilang,
ditenggelamkan Lumpur panas, tanpa kejelasan akan nasib mereka.

Hingga sekarang, kebohongan dan janji kosong Lapindo untuk
menyelesaikan pembayaran tanah warga yang telah tenggelam sama sekali
tidak terealisasi. Hampir ribuan hektar tanah warga telah terkubur
dibawah pekat Lumpur, ratusan ribu keluarga terusir, dan terserak.
Kehidupan damai dulu itu telah dihancurkan.

No comments:

Post a Comment