Monday, November 16, 2009

KAUM TANI DIBAWAH ANCAMAN KAPITALISME

KAUM TANI DIBAWAH ANCAMAN KAPITALISME

Saat ini petani Indonesia sering menemukan kenyataan bahwa beras yang mereka produksi harganya jauh lebih mahal daripada beras yang diimpor (didatangkan dari luar Indonesia). Demikian pula halnya dengan hasil-hasil (produk) pertanian yang lain. Kenapa hal tersebut terjadi ? sejak kapan terjadinya dan apa akibatnya bagi kehidupan petani dan masyarakat Indonesia pada umumnya ?

Untuk memahami masalah-masalah ini, kita perlu mengenali apa yang disebut kapitalisme dan Imperialisme. Apa artinya kapitalisme ? kapitalisme adalah system pergaulan hidup yang timbul dari cara produksi yang memisahkan kaum buruh (termasuk buruh tani dan buruh perkebunan) dari alat-alat produksi. Dengan cara produksi semacam inilah, maka keuntungan (nilai lebih) tidak jatuh ke tangan buruh, melainkan jatuh ke tangan majikan (pemilik modal/capital). Kapitalisme oleh karenanya pula, menyebabkan penumpukan capital, konsentrasi capital, sentralisasi capital, dan barisan penganggur.

Sedangkan imperialisme adalah suatu nafsu, suatu system menguasai atau mempengaruhi ekonomi bangsa lain atau negeri, suatu system merajai atau mengendalikan ekonomi atau negeri bangsa lain. Ini adalah suatu kejadian di dalam pergaulan hidup, yang timbulnya ialah oleh keharusan-keharusandi dalam ekonomi suatu negeri atau suatu bangsa. Selama ada perekonomian bangsa, selama ada ekonomi negeri, selama itu dunia melhat imperialisme. Dia kita daapatkan dalam burung Garuda Rum (Kerajaan Romawi) terbang ke mana-mana menaklukkan negeri-negeri sekeliling dan di luar lautan Tengah. Dia kita dapatkan di dalam nafsu bangsa Spanyol menduduki negeri Belanda untuk bias mengalahkan Inggris, diaa kita dapatkan di dalam nafsu Kerajaan Timur Sriwijaya menaklukkan Negeri Semenanjung Malaka, menaklukkan Kerajaan Melayu, mempengaruhi rumah tangga negeri Kamboja atau Campa. Dia kita dapatkan dalam nafsu negeri Majapahit menaklukkan dan mempengaruhi semua Kepulauan Indonesia, dari Bali sampai Kalimantan, dari Sumatera sampai Maluku.

Imperialisme bukan saja system atau nafsu menaklukkan bangsa lain, tetapi imperialisme bisa juga hanya nafsu atau system mempengaruhi ekonomi Negara atau bangsa lain. Dia tidak usah dijalankan dengan pedang atau bedil atau meriam atau kapal perang, tidak usah berupa perluasan negeri-daerah dengan kekerasan senjata. Dia bisa juga dijalankan dengan putar lidah atau cara halus-halusan saja, atau diplomasi perdagangan dan dalam perkembangan kapitalisme global, dilakukan dengan tarif barang dan jasa.

Perjanjian Tentang Pertanian dan Akibatnya Bagi Petani Kecil

Perjanjian tentang Pertanian (AoA) adalah salah satu hasil Putaran Urugay yang mengatur perdagangan pangan secara internasional dan dalam negeri. Aturan-aturan ini memacu lajunya konsentrasi pertanian ke agribisnis dan melemahkan kemampuan Negara-negara miskin untuk mencukupi kebutuhan swadaya pangan dengaan cara bertani subsisten (bahan pokok penyembung hidup). Mengingat sebagian besar penduduk Indonesia adalah petani, perjanjian Tentang Pertanian (AoA) sangat berpengaruh besar terhadap kehidupan petani Indonesia.

Menurut dasar pikiran ketetapan tersebut, daripada mencukupi sendiri kebutuhan pangan, lebih baik Negara-negara itu membeli makanan dalam pasar Internasional dengan uang yang diperoleh dari hasil ekspor. Namun, banyak Negara-negara kurang berkembang menghadapi rendahnya harga produk mereka atas sejumlah ekspor mereka yang terbatas. Selama empat tahun pertamaWTO, harga bahan-bahan pertanian jatuh, sedangkan harga makanan tetap tinggi. System ini dapat merugikan petani maupun konsumen dan sekaligus membuka jalan bagi perusahaan-perusahaan transnasional mendominasi pasar, terutama di Negara-negara miskin.

Dengan menanda tangani Perjanjian Pertanian (AoA) Negara-negara dunia ketiga menyadari bahwa mereka telah setuju untuk membuka pasar-pasar mereka sementara memungkinkan para Adikuasa pertanian menguatkan system produksi pertanian bersubsidi mereka yang menyebabkan anjloknya harga padda pasar-pasar mereka. Pada gilirannya, proses tersebut, menghancurkan pertanian berbasis petani kecil.

Aturan-aturan WTO yang terbaru mengenai pertanian mendesak Negara-negara miskin untuk meliberalisasi pasar-pasar mereka, sementara pada sisi lain memungkinkan Negara-negara maju/industri untuk mensubsidi dan membanting harga produk-produk ekspor pertanian mereka. Ekspor yang dilakukan dengan membanting harga, terutama oleh Negara-negara Uni Eropa dan Amerika Serikat menghancurkan kehidupan di Negara-negara miskin, dan harus secepatnya dihapuskan. Di Afrika Barat, sebagai contoh banjir konsentrat tomat murah Eropa telah menghancurkan produksi dan pengolahan tomat local, sementara produk-produk susu Uni Eropa yang bersubsidi tinggi telah menyebabkan hilangnya pendapatan para produsen susu di Brazil dan Jamaica. Sedangkan di Indonesia, para petani kecil penghasil beraas mengeluhkan banjirnya beras impor, yang harganya selalu lebih murah daripada beras yang mereka produksi.

Pemerintah-pemerintah Negara kaya terutama Amerika serikat seringkali menyatakan kesediannya terhadap pengembangan lapangan bermain yang sama dalam pertanian. Namun, dalam kenyataannya, secara bersama-sama Negara-negara OECD (Negara-negara industri maju0 membelanjakan $350 Milyar untuk mensubsidi para petani mereka. Di Amerika Serikat, ini berarti subsidi senilai $20.000 untuk tiap orang petani. Globalisasi pasar-pasar pertanian berarti bahwa para petani ini bersaing dengan para petani kecil di Negara-negara miskin, yang banyak diantaranya hidup dengan kurang dari $ 1 per hari.

Pada masa krisis, banyak Negara berkembang/miskin telah meliberalisasikan impor pangan mereka, atas tekanan dari IMF dan Bank Dunia, bahkan memberlakukan tarif nol persen untuk impor bahan pangan utamanya (sembako). Pada masa normal nantinya, sulit untuk memberlakukan tarif lagi.

Akibat dua keuntungan yang diperoleh dari perjanjian tantang pertanian yakni produk pertanian yang bersubsidi dan tarif bea masuk yang sangat rendah adalah sangat mengerikan bagi para petani di Negara-negara miskin dan berkembang. Petani kecil tidak akan mampu bersaing dalam pasar global yang dikendalikan oleh perusahaan transnasional sementara tekanan untuk menyediakan produk tanaman ekspor akan menggusur jutaan petani dari lahan mereka, jadi, sekali lagi, patut dicamkan bahwa inilah akibat utama dari Perjanjian tentang Pertanian/WTO bagi petani di Negara-negara berkembang/miskin : menggusur jutaan petani kecil di lahan mereka.

Kapitalisme Global di Lapangan Agraria : Pasar Tanah dan Proyek Administrasi Pertanahan

Setelah melihat kepentingan yang dibawakan oleh WTO lewat perjanjian tentang Pertanian (AoA), maka kita perlu pula mengetahui kepentingan kapitalisme global terhadap alat produksi yang paling penting bagi petani dan sector pertanian yaitu tanah. Untuk hal ini, kapitalisme global dan para pendukungnya (termasuk kalangan intelektual) mengembangkan konsep yang dikenal sebagai pasar tanah (land market), yang secara gencar dipromosikan oleh Bank dunia pada tahun-tahun 2000-an awal dis eluruh dunia. Di Indonesia, proyek Bank dunia ini dikenal sebagai Proyek Administrasi Pertanahan (PAP) atau Land Administration Project (LAP).

Bank dunia memiliki pengalaman yang cukup panjang dalam bantuan kebijakan pertanhan Negara-negaara berkembang. Dua desain utama yang pernah dianut oleh Bank Dunia adalah Land reform dan Land Market, walalupun motif dari bank Dunia adalah sama-sama melanggengkan pengaruh Amerika. Namun terdapat perbedaan-perbedaan penting antara keduanya, yang terletak pada dataran agenda ekonomi-politik, sector yang menjadi tumpuan dan periode waktu penerapan kebijakan tersebut.

Pada decade sekarang, Bank Dunia tidak lagi menggunakan desain utama land Reform, karena argumentasi ekonomi politiknya menurut Bank Dunia sudah tidak lagi tepat. Dalam upaya menerapkan pasar tanah tersebut, Bank Dunia menyarankan agar pemerintah Indonesia melakukan deregulasi semua perundang-undangan yang dapat membatasi ruang gerak investasi, termasuk di dalamnya deregulasi pertanahan. Dari tinjauan ini, proses pengadaan tanah untuk investasi modal besar selama ini mengalami sejumlah hambatan yang mengganggu. Hambatan tersebut didasarkan atas tipe ideal prinsip pasar bebas. Arah baru strategi, kebijakan program, dan proyek pertanahan tersebut adalah membentuk pasar tanah yang efisien.

Salah satu proyek deregulasi pertanahn dalam kerangka land market (pasar tanah) yang disarankan oleh Bank Dunia kepada pemerintah Indonesia adalah apa yang disebut sebagai Proyek administrasi Pertanahan (land Administration Project). Ada suatu titik masuk untuk melihat asal-usul PAP (Proyek Administrasi pertanahan) sebagai bagian dari strategi global Bank Dunia, yakni uraian Bab II dalam dokumen Bank Dunia berjudul Staff Appraisal Report-Land Administration Project (SAR) dengan judul Bank Experience, Strategy and Rationale for bank involvement. Pada bagian awal Bab II SAR tersebut, diuraikan pengalaman keberhasilan proyek sejenis di Thailand, yang juga bekerja sama dengan AusAid. Namun, tidak diuraikan pengalaman kegagalan serius dari proyek di Papua nugini. Kecenderungan untuk mempopulerkan pengalaman yang berhasil (menurut ukuran Bank Dunia), dan menyembunyikan pengalaman kegagalan tentunya menimbulkan pertanyaan. Satu pertanyaan penting adalah apa latar dari perluasan proyek-proyek sejenis ?

Saat ini paling tidak ada beberapa Negara, di mana Bank dunia bersama-sama dengan AusAid (badan kerja sama pembangunan Australia) membiayai dan memberi hutang untuk proyek sejenis di berbagai Negara yang berkembang, diantaranya Thailand, papua Nugini, Laos, dan el savador. Bank Dunia sendiri telah berpengalaman lebih dari 35 tahun menghutangi proyek semacam ini, untuk Negara-negara di dua wilayah : Central America dan South-and Southeast asia.

Desakan Bank Dunia kepada pemerintah Indonesia untuk melaksanakan deregulasi pertanahan berada dalam kerangka neo-liberal. Asal-usul deregulasi ini dapat ditelusuri dari Program Penyesuaian structural (SAP) dari Bank Dunia terhadap ekonomi politik Negara-negara penghutang, termasuk Indonesia. Karena itu, deregulasi ini hanya dapat dimengerti dari siasat bank Dunia terhadap Negara-negara penghutang termasuk Indonesia, latar belakangnya sangat jelas, yakni agar Negara-negara penghutang mampu melunasi hutang-hutangnya atau bank Dunia harus menyelamatkan kekayaan dirinya dan mitra-mitra Negara pemodalnya.

Ditetapkan bahwa tujuan proyek administrasi Pertanahan(PAP) adalah proyek yang dijalankan oleh Pemerintah Indonesia yang bertujuan utama : meningkatkan pasar tanah (land market) yang wajar dan efisien dan mengentaskan konflik masyarakat atas tanah, melalui percepatan pelaksanaan pendaftaran tanah sebagai fase permulaan dari program pendaftaran tanah jangka panjang pemerintah Indonesia (Bagian A), dan perbaikan system kelembagaan administrasi pertanahan yang diperlukan untuk menunjang program pendaftaran tanah tersebut (bagian B). tujuan utama kedua proyek tersebut (Bagian C) adalah untuk menunjang upaya pemerintah Indonesia untuk mengembangkan kebijaksanaan pengelolaan pertanahan. Tujuan-tujuan yang berkaitan percepatan pendaftaran tanah ini adalah untuk menunjang pengentasan kemiskinan melalui jaminan hak pemakaian tanah yang ditingkatkan dan kesempatan agunan kepada pemilik tanah, serta untuk menyediakan insentif bagi investasi dan tata guna tanah yang berkelanjutan.

Selintas, tujuan Proyek Administrasi pertanahan (PAP) ini tampak akan menguntungkan rakyat Indonesia. Namun, dalam hal ini kita mesti membongkar secara sungguh-sungguh tujuan jangka panjang dari kepentingan Bank Dunia dalam mempromosikan pasar tanah ini. Apa yang sesungguhnya dikehendaki oleh Bank Dunia ? Bank Dunia menginginkan peran pemerintah sebagai penyedia tanah dikurangi otoritasnya. Bank dunia juga hendak menghapus seoptimal mungkin para calo pertanahan. Tentunya hal ini bagus selama ia memang ditujukan untuk kepentingan rakyat. Sayangnya tidak demikian, Bank Dunia lebih berpikir bagaimana membuat iklim investasi di Indonesia lebih nyaman bagi beroperasinya modal-modal besar, khususnya perusahaan-perusahaan multi/trans-nasional, dengan cara terciptanya mekanisme penyediaan tanah yang lebih efisien bagi kepentingan mereka.


Gerakan Tani Persil IV-Deli Serdang ( Ojudista )


No comments:

Post a Comment