Friday, December 24, 2010

Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE); Sejarah dan Perkiraan Konsekwensi


Sejak akhir 2007, distrik Merauke merencanakan membangun sebuah projek untuk produksi pangan dan energi yang disebut dengan Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Ini adalah projek mega pengembangan agro untuk produksi pangan dan energi yang dilakukan di 3 distrik Papua (Merauke, Mappi, dan Boven Digul) dan ini merupakan bagian rencana pemerintah pusat dalam mengembangkan kawasan agrikultural di kawasan pinggir. Targetnya adalah agar Indonesia mampu menjadi negara yang berkecukupan dalam hal produksi pangan dan energi, bahkan menjadi eksportir seperti yang disampaikan oleh Presiden RI “Memberi makan Indonesia, kemudian memberi makan dunia” . Projek ini akan meliputi sekitar 1.28 juta hektar, dan 90% diantaranya (1.13 juta hektar) adalah hutan alami/primer-- yang belum pernah pernah di tebang sebelumnya. MIFEE menjadi bagian dari agenda 100 hari cabinet nasional dan menjadi wilayah kekuasaan kementrian agrikultur berkokordinasi dengan pemerintah local (level distrik Merauke). Projek ini diharapkan akan dimulai pada 2010, awalnya 500.000 hektar dengan panen pertama diharapkan pada 2012. Projek ini juga akan terhubung dengan konstruksi jalan sepanjang 700 kilometer di distrik, 1.500 kilometer jalan penghubung ke provinsi Papua Barat, tiga pelabuhan dan sistem irigasi yang melibatkan investasi pemerintah dalam infrastruktur sekitar US $ 3 juta dan dan diperkirakan masih akan mengundang investor swasta (lokal dan asing) lebih dari US $ 60 juta.

Adalah Texmaco—sebuah perusahaan konglomerasi—yang pertama kali mengeksplorasi ‘potensi’ Merauke dengan mengelola pertanian besar (lebih dari 3.000 ha) sejak tahun 1980’an, dan mengelola kelapa sawit, tebu, dan perkebunan alam lainnya untuk pengembangan bubur kertas oleh perusahaan AS, Scott Paper . Setelah tumbangnya Texmaco pada tahun 2000, grup Medco melanjutkan kerja dan riset Texmaco termasuk potensi produksi padi dan tebu Merauke.
Grup Medco, sebuah perusahaan minyak dan gas Indonesia, awalnya pada 2007 dengan menggunakan subsidi dari perusahaan (Medco Papua Lestari) mulai membangun konstruksi pabrik kayu-chip di Merauke dan berencana untuk memulai produksinya pada pertengahan 2008 untuk mencapai puncak target produksinya sebanyak 500.000 metrik ton bubur kertas dan kertas pertahun pada 2012 . Perkebunan ini akan menjadi pabrik baru terbesar di Indonesia sejak tahun 1997-18998 (krisis finansial Asia), dan pertamakalinya di Papua. Tampaknya Medco yang memiliki rencana terbesar untuk Merauke. Perusahaan ini telah meyakinkan pemerintah lokal dan Kementrian Kehutanan menyediakan area seluas 600.000 hektar dekat sungai Bian.
Di waktu yang bersamaan, PT Medco Papua (anak perusahaan Medco grup lainnya), memulai proyek pilot bisnis agrikultur seluas 200 hektar di Merauke; singkong, jagung, kedelai, tebu dan padi system SRI (yang juga dikenalkan oleh yayasan Medco di Jawa Barat, Aceh, Bali, Kalimantan Tengah dan Nusa Tenggara). Bersamaan dengan kesuskesannya, terutama dalam memulai projek pilot 20 hektar dengan padi sistem SRI di Tanah Miring, Merauke (dan wilayah lainnya di Indonesia). Grup Medco mendapat dukungan terbesar dari Bupati Merauke (Johanes Gluba Gebze) dalam memperluas bisnin padi system SRI dalam skala industri sejak Bupati melihat padi system SRI memiliki prodktivitas tinggi dan cocok dengan karakteristik area, topografi, dan iklim di Merauke . Konsep industri padi terpadu yang meliputi 1.9 juta hektar di Merauke diajukan pada pemerintah (Kementrian Pertanian)—karena ini adalah proyek besar, investasi besar-besaran dan dukungan pemerintah dalam hal infrastruktur juga diperlukan—proyek ini disebut Merauke Integrated Rice Estate (MIRE) . MIRE membangun kerjasama dengan petani lokal dan bank menggunakan sistem pertanian terpadu: system organik, pengelolaan sampah dan produksi pupuk organik.


Kementerian Pertanian melihat konsep MIRE dapat menjadi solusi bagi krisis pangan Indonesia (dan dunia) – lobi kuat dari Medco juga merupakan faktor lain yang menguatkan karena pemilik Medco juga adalah actor politik senior. Pada bulan Agustus 2008, Mentri Pertaian mengundang beberapa investor dari Saudi (Grup Bin Laden), yang dikenal sebagai Konsosrsium Pangan Timur Tengah, untuk membahas kemungkinan keterlibatan konsorsium dalam mengembangkan industri beras di Indonesia, khususnya di Merauke (Sulawesi Tenggara juga mengajukan). Grup Bin Laden menandatangani kesepakatan menanam modal sekitar US $ 4.3 miliar mewakili konsorsium 15 investor dari Saudi untuk mengembangkan 500.000 hektar lahan padi di Merauke . Tujuannya adalah memproduksi beras basmati (beras primer yang dikonsumsi oleh mayoritas masyarakat di Timur Tengah) untuk di ekspor ke Arab Saudi . Konsorsium juga akan mempertimbangkan menyimpan sebagian beras untuk pasar lokal .

Ada juga beberapa perusahaan lokal yang tertarik bergabung dengan program MIRE, selain Medco E & P sebagai pelopornya, perusahaan lainnya adalah PT. Bangun Cipta Sarana (konstruksi), PT. Wolo Agro Lestari (perkebunan), PT. Comexindo (perkebunan dan perdagangan jagung, sawit, karet, dan teh), dan Sumber Alam Sutera (benih beras hybrid) . Kebanyakan perusahaan-perusahaan ini memiliki hubungan dekat dengan partai politik, juga memiliki kekuasaan dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah. Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, grup Medco dimiliki oleh Arifin Panigoro, aktor politik senior, sementara grup Comexindo dimiliki oleh Hashim Djoyohadikoesomo, saudara dari Prabowo Subianto (menantu mantan presiden Soeharto, mantan kepala Kopassus dan Pasukan Khusus Kostrad, dan juga kandidat Presiden yang gagal). PT. Bangun Cipta Sarana memiliki Siswono Yudo Husodo sebagai komisioner, menjadi direktur sejak 1968-1988. Selama periode ini Husodo menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri (1988 – 1993), Menteri Transmigrasi (1993 – 1998), dan kandidat deputi presidensil (2004). Sumber Alam Sutra/Grup Artha Graha dikontrol oleh Tomy Winata (Oe Suat Hong). Kedekatan Winata dengan militer terbangun ketika ia berhasil memenangkan kontrak pembangunan fasilitas militer di Papua dan Papua Barat, Ambon, dan Makasar, dan ketika ia dikabarkan menjalankan Yayasan Kartika Eka Paksi, sebuah yayasan dana pensiun bagi militer. Winata telah terlibat dalam perdagangan kayu sejak pembangunan grup Artha Graha .

Pemerintah pusat pada 27 November 2008 mengadakan pertemuan dan membahas bagaimana mendukung ‘perkebunan rakyat’ bagi ketahanan pangan Indonesia dengan menyediakan peraturan sebagai pijakan dasarnya . Beberapa peraturan kuci telah dipersiapkan dan dikordinasikan dengan kementerian Ekonomi karena proyek ‘perkebunan rakyat’ juga akan melibatkan banyak kementrian di Indonesia. Ketika draf peraturan sedang dinegoisasikan dengan parlemen, kabar buruk datang dari Forum Ekonomi Islam se-Dunia pada bulan Maret 2009. Menteri Pertanian mengumumkan bahwa kerajaan Bin Ladin di Saudi menghentikan rencana investasi sebesar US $ 4.3 milyar dalam pengembangan beras di Merauke. Para investor memutuskan untuk menghentikan rencana mereka terkait dengan krisis financial global (jatuhnya harga pangan dan menipisnya pendapatan minyak di Timur Tengah . Situasi ini memaksa pemerintah Indonesia untuk fokus pada rekan investor domestik yang potensial dalam mengembangkan ‘perkebunan rakyat’ dan mendorong investor lokal untuk mengundang investor asing dengan modal mereka sendiri.

Di sisi lain, grup Medco telah mempersiapkan rencana lain untuk pabrik bubur kertas dan kertas di Merauke terkait dengan membesarnya perhatian global akan dampak pembalakan hutan terhadap perubahan iklim. Medco menghentikan rencana pabrik bubur kertas dan kertas dan berfokus pada fasilitas skala kecil US $ 70 juta untuk memproduksi pellet kayu, bahan bakar ‘hijau’ potensial. Terdapat pasar potensial akibat tingginya permintaan pellet kayu dari perusahaan-perusahaan di Eropa dan Asia yang berada dibawah tekanan untuk mengurangi emisi karbon mereka. Pelet kayu mengalami peningkatan popularitas sebagai sumber bahan bakar untuk menggantikan karbon dioksida – pembangkit listrik tenaga batubara dan untuk pemanasan. Medco sudah bekerjasama dengan LG Corp, Korea Selatan , yang telah memiliki 32% saham di unit Medco Papua dan akan memasarkan pellet kayunya ke seluruh dunia. Mereka berencana memproduksi 100.000 metrik ton pellet kayu pada 2010 dan 300.000 ton pada dua tahun berikutnya. Perusahaan ini juga melihat tebu sebagai masa depan yang prospektif dalam pengembangan makanan (gula) dan (bahan bakar (etanol), mereka berencana untuk memperluas areanya dari proyek pilot menjadi proyek berlevel industri, dan mencoba melibatkan rekan strategis mereka dari Jepang dengan total investasi sekitar US $ 25-30 juta untuk memproduksi 60 ton bio-ethanol perhari . Medco melihat dua inisiatif ini sebagai alternatif bahan bakar dapat menjadi hal yang strategis dalam mempromosikan industri ‘perkebunan rakyat’ yang sudah direncanakan di Merauke. Lantas pemerintah mendukung gagasan ini, konsep energi dikembangkan menjadi ‘perkebunan rakyat’. Itulah kenapa alasan MIRE (Merauke Integrated Rice Estated) diubah menjadi MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estated).

Sementara ada upaya serius dalam merekrut para investor dalam proyek MIFEE, pemerintah mengeluarkan beberapa regulasi yang akan membuka jalan lebih luas bagi implementasi proyek ini. Pertama adalah peraturan 14 Oktober 2009, Undang-Undang no. 41/2009 tentang Perlindungan Wilayah bagi Keberlanjutan Agrikultur Pangan. Undang-undang ini bertujuan untuk mendukung kesuksesan Indonesia dalam kemakmuran pangan dengan melindungi lahan pertanian yang telah ada dan menciptakan lahan pertanian yang perenial bagi sumber makanan. Undang-undang ini juga memberikan ruang bagi pertanian korporasi dalam berbagi investasi dengan pembagian 51% bagi pemerintah local dan 49% bagi investor asing. Kemudian pada 29 November 2009 dalam Peraturan Pemerintah no. 39/2009 mengenai Zona Ekonomi Khusus yang dimandatkan di bawah Undang-undang investasi tahun 2007, seperti Merauke (melalui proyek MIFEE) juga diusulkan menjadi salah satu Zona Ekonomi Khusus di Indonesia untuk tujuan pertanian (terdapat 22 usulan untuk Zone Ekonomi Khusus). Dengan menggunakan hukum ini, wilayah-wilayah ini akan menyediakan intensif fiskal bagi perusahaan-perusahan, seperti pengurangan pajak pemasukan dan tanah bagi perusahaan, dan akan membebaskan mereka dari pajak penambahan nilai dan barang berharga. Perusahaan juga akan menikmati intensif non-fiskal, seperti prosedur imigrasi yang lancar dan akses yang lebih mudah atas izin tanah dan bisnis. Tidak seperti dalam area pasar bebas sebelumnya – yang ketat terhadap perusahaan-perusahaan internasional—impor bahan mentah dan ekspor produk jadi tidak akan mendapatkan bebas pajak, tapi barang-barang yang diproduksi di kluster akan diperbolehkan dijual dalam pasar domestik. Para investor dapat memperoleh izin bisnis mereka kurang dari 14 hari, dibandingkan sebelumnya yang memakan waktu 30 hingga 60 hari, dan melewati seluruh hukum perizinan oleh administrasi lokal.

Pada 2010 terdapat 3 regulasi terkait dengan proyek MIFEE yang dikeluarkan oleh pemerintah. Yang pertama adalah lahan baru – menggunakan Peraturan Pemerintah No. 10/2010 (22 Januari 2010) mengenai Prosedur atas Konversi Fungsi dan Alokasi Hutan. Harus dicatat disini bahwa regulasi ini memperbolehkan area hutan digunakan dalam pengembangan aktivitas non-hutan yang dikategorikan dalam peraturan tersebut sebagai “aktivitas pasti yang terkait dengan tujuan strategis.” Aktivitas-aktivitas ini termasuk pertambangan, teknologi energi terbarukan, pengembangan telekomunikasi, instalasi generator, jalan publik, jalan tol, rel kereta, industri yang terkait dengan kehutanan, keamanan dan pertahanan, dan shelter sementara terhadap bencana alam. Kemudian di hari yang sama, pemerintah juga mengeluarkan Peraturan No. 11/2010 tentang Ketahanan dan Pemberdayaan Lahan Terlantar (termasuk zona hutan) yang memperbolehkan akuisisi lahan bagi aktivitas publik privat selama itu bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat . Kemudian pada 28 Januari 2010 pemerintah mengeluarkan Peraturan No. 18/2010 mengenai Perkebunan Bisnis yang diadaptasi dari Undang-undang no. 41/2009. Peraturan ini menyatakan bahwa untuk area Papua setiap investor perkebunan pangan hanya diperbolehkan mengelola maksimum sebesar 20.000 hektar (sementara area lainnya hanya 10.000 hektar), kemudian izin diperlukan bagi petani yang memiliki lahan lebih dari 25 hektar, atau yang memperkerjakan lebih dari 10 orang tenaga kerja.
Pemerintah daerah pada 2010 juga menyiapkan peraturan daerah terkait dengan proyek MIFEE. Akan ada 3 regulasi yang akan segera dikeluarkan. Hingga saat ini peraturan tersebut masih didiskusikan dengan para stakeholder terkait di Merauke . Peraturannya adalah (i) MIFEE; (ii) pemberdayaan komunitas (iii) hak masyarakat adat. Keterlibatan stakeholder lain termasuk LSM lokal— juga dipertanyakan, karena sejak awal konsep MIFEE dirancang top-down. Ada kekhawatiran dari kalangan aktivis LSM bahwa keterlibatan mereka dalam pembahasan regulasi MIFEE dijadikan pembenaran bagi pemerintah daerah bahwa MIFEE telah melibatkan stakeholder lain dalam perencanaannya . Sejak awal, gagasan MIFEE selalu disampaikan sebagai konsep Bupati dan Pemerintah Pusat.

Berdasarkan pada Instruksi Presiden No. 01/2010 (Februari 2010) dalam Akselerasi Pembangunan Nasional 2010, MIFEE telah dimulai dengan memenuhi Rancangan Utama Pengembangan Perkebunan Rakyat Beras dan Energi. Dalam Rancangan Utama, terdapat 8 cluster (3 zona) dimana setiap cluster terdiri atas 30 sub-cluster zona produksi yang telah dirancang, dimana setiap sub-cluster akan meliputi sekitar 5.000 hektar . Direncanakan area tersebut akan ditanami sebesar 50% untuk stok pangan (padi, jagung, keledai, dan husbandary), 30% tebu, dan 25% sawit untuk mencapai tujuan proyek seperti yang tertera secara eksplisit dalam dokumen. Tujuan kuantitatif MIFEE adalah sebagai berikut:
- Meningkatkan stok pangan utama Indonesia (beras 1.95 juta ton, terigu 2.02 juta ton, dan CPO 937.000 ton)
- Ekspor surplus stok pangan
- Mengembangkan zona agro-bisnis dan agro-industri di area potensial yang meliputi 1.28 juta hektar yang terdiri dari 154.790 hektar APL (lahan untuk penggunaan lain) dan 1.128 juta hektar HPK (Konversi Hutan Produksi)
- Menyediakan kesempatan kerja dalam sektor agrikultur bagi 44.900 orang – tenaga lokal maupun asing
- Meningkatkan pendapatan populasi local setidaknya US $ 3.500 per rumah tangga dalam setahun
- Simpanan devisa nasional melalui peningkatan impor pangan sebesar Rp. 51.41 milyar
Bagaimanapun juga, harus diingat bahwa pengembangan bio-fuel tidak dapat dikendalikan oleh pasar sendiri. Kemajuan atas seluruh prasyarat dalam rangka mencapai kompetisi produk harus dilakukan melalui kontribusi besar dari pusat seperti pemerintah daerah. Terkait dengan fakta proyek MIFEE, adanya potensi dalam mengembangkan stok produk pangan dan bio-fuel secara paralel tinggi.

Terdapat 37 investor (hanya 1 investor asing dari Korea – investor dari Cina dan Singapur akan segera menyusul) yang telah menunjukan minat mereka pada proyek MIFEE, dan 6 diantaranya telah memiliki izin. Mereka adalah Bangun Tjipta, Grup Medco, Comexindo, Digul Agro Lestari, Buana Agro Tama dan Wolo Agro Makmur, Korindo Group, Artha Graha. Izin ini memberikan perusahaan hak penggunaan lahan selama 60 tahun dan bisa diperpanjang hingga 90 tahun.

Opini kritis melihat potensi atas pengalokasian lahan hutan bagi proyek MIFEE yang akan melibatkan pembalakan hutan besar-besaran dan pendapatan kayu milyaran dollar bagi perusahaan-perusahaan yang mendapat konsensi. Greenomics (2010) memperkirakan dari 1.06 juta hektar area hutan untuk proyek ini mengandung sekitar 410.9 juta kubik kayu yang bernilai sekitar Rp. 120.87 triliun dalam pasar domestik. Dan bisa melambung hingga Rp. 375.5 triliun di pasar gelap.
Selain itu juga dilihat dampak negative proyek MIFEE dalam memarjinalkan masyarakat local. Karena masyarakat Papua masih tergantung dengan alam bagi penghidupan mereka, pembalakan hutan besar-besaran berarti masyarakat Papua akan kehilangan sumber penghidupan mereka, dan mereka juga tidak memiliki kemampuan pertanian dalam menyaingi para pekerja agrikultur dari luar . Hilangnya hutan bagi suku-suku di Merauke juga akan menciptakan konflik horizontal diantara mereka karena mereka harus bersaing dalam mencari sumber kehidupan lainnya. Hukum adat meperbolehkan seseorang membunuh orang dari suku lain yang memasuki hutan mereka, bahkan untuk makanan . Rasio yang tidak seimbang antara area proyek dan ketersediaan tenaga manusia dapat menghadirkan masalah lain, memaksa perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam proyek ini untuk mengambil pekerja dari luar Papua. Jika satu hektar lahan membutuhkan 4 pekerja, maka proyek ini akan membutuhkan 6.4 juta pekerja sementara total populasi masyarakat Papua hanya 4.6 juta jiwa, dimana 2.2 juta jiwa dari populasi ini adalah masyarakat adat dan 70% hidup di wilayah pinggir. Dengan populasi hanya sekitar 174.710 jiwa di Merauke, rencana ini akan mengancam eksistensi masyarakat Papua di area-area tersebut, membuat mereka menjadi minoritas, bahkan mengiring mereka pada kepunahan. AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) mengatakan bahwa proyek MIFEE juga merupakan bagian dari pembantaian manusia secara sistematis dan struktural . MIFEE juga dicurigai dapat mengiring para petani dalam perbudakan terkait dengan besarnya kapital dan luasnya jangkauan korporasi. Sudah ada kisah panjang dugaan monopoli bisnis yang akan mengontrol harga penjualan.

No comments:

Post a Comment