Thursday, December 30, 2010

PERJUANGAN MASIH BERKOBAR DI POLONGBANGKENG


DI BUKIT KECIL di bawah pohon besar, belasan warga telah menunggu sejak pagi. Mereka nampak serius mengamati dari jauh dan menunggu kemungkinan yang akan terjadi.

Perhatian warga itu tertuju ke Blok D areal perkebunan tebu PT. Perkebunan Nusantara PTPN IV, berjarak lebih 200 meter dari bukit tersebut. Tanah itu dirampas dari warga 28 tahun yang lalu. dan sampai sekarang masih berusaha untuk direbut kembali oleh pemiliknya para warga Polongbangkeng, Takalar.

“Akan ada pengolahan, kami akan menghadangnya”, kata seorang petani yang ikut berjaga-jaga pada Sabtu (13/11) lalu.

Menggunakan parang, ia menunjuk beberapa titik di sebelah barat, tenggara, dan selatan. Pada titik-titik yang ditunjuknya, terdapat masing-masing regu warga yang juga ikut mengawasi dari tempat yang berbeda. Sebuah gerilya sedang dipraktekkan.

Belakangan ini, perlawanan kembali intens. Hampir tiap hari warga Polongbangkeng, Takalar melakukan aksi penghadangan pengolahan lahan yang dilakukan oleh pihak perusahaan. Warga bersikukuh bahwa perjanjian terdahulu tidak ditepati oleh perusahaan. Dalam mediasi akhir tahun lalu, disepakati kedua pihak untuk tidak mengolah lahan yang termasuk dalam wilayah konflik sebelum permasalahan ini diselesaikan. Namun, pihak PTPN XIV justru bebas melakukan pengolahan padahal kesepakatan tersebut juga mengikat pihak perusahaan. Pengolahan bahkan dilakukan di bawah pengawalan aparat bersenjata dari Brimob Polda Sulsel.

Aksi-aksi langsung warga dengan mendatangi lokasi dan menggagalkan pengolahan menunjukkan bahwa perjuangan memenangkan hidup masih terus berkobar di Polongbangkeng. Warga berbondong-bondong dari berbagai desa datang ke titik dimana pihak perusahaan akan menggarap tanah mereka. Solidaritas berdatangan dari berbagai desa menuju lokasi lahan yang hendak digarap. Mereka terbagi dalam beberapa kelompok kecil, dan saling berkoordinasi secara informal melalui alat telekomunikasi untuk merencanakan aksi bersama.

Ardi, seorang warga yang mengontak kami, menceritakan bahwa aksi-aksi tersebut menyusul makin agresifnya pihak PTPN XIV. Ini lantas memicu reaksi keras dari petani.

Seminggu sebelumnya, kondisi sempat memanas. “Seorang petani bernama Dg. Tamma, menghadang aparat dan karyawan dengan cara memasukkan kepalanya ke bawah mobil traktor. Dia membiarkan dirinya tergilas mobil”, ujar Ardi. Tetapi aparat tidak berani ambil resiko, Dg Tamma diangkat dari bawah mobil traktor dan dibawa menjauh dari lokasi.

Dg. Tamma memang tidak punya pilihan lain, ubi yang ditanamnya diobrak-abrik oleh pihak PTPN untuk diganti dengan tebu. “Padahal, ubi itu siap panen dua bulan depan,” terang Arif. Kemarahannya bertransformsi menjadi aksi radikal, dengan menjadikan badannya sebagai blokade hidup. Mobil traktor perusahaan pun dipaksa berhenti.

“Beberapa hari lalu, Brimob juga sempat menembaki warga. Sayangnya tidak ada wartawan yang menyiarkan,” jelas kembali kawan petani itu. Sesaat kemudian, ia justru bertanya, ”Atau apakah karena tidak ada orang luar jadi mereka berani menembak?”

Hari itu, setelah hampir dua jam menunggu, warga memastikan tidak ada pengolahan. Kami memutuskan bergegas kembali ke rumah salah seorang warga, tempat awal berkumpul. Di tengah perjalanan kembali, kami melewati sebuah bukit dimana sebuah mobil polisi terparkir. Ternyata di sekitarnya terlihat pasukan Brimob nampak duduk bersiaga. Tapi entah kenapa mereka tidak melakukan penjagaan kepada karyawan dan mobil traktor perusahaan.



BEBERAPA WAKTU LALU, dalam pemberitaan media massa, Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo menegaskan akan mengambil alih pengelolaan beberapa pabrik gula di Sulsel. Pengambilalihan tersebut sebagai respon atas kekurangan stok gula di Sulsel dan pencanangan program ambisius untuk menjadikan Sulsel sebagai sentra industri gula.

Dalam ulasan dan analisa yang kami publikasikan jauh sebelumnya, semakin membuktikan bahwa kompetisi dan ekspansi industrialisasi membutuhkan tumbal –dalam hal ini warga Polongbangkeng, demi melanggengkan akumulasi. Untuk itu, agenda borjuasi domestik hanyalah memastikan agar industri gula tetap relevan dengan logika kapital.

Syahrul mengatakan bahwa untuk mengoptimalkan industri gula di daerah ini, ia akan menyelesaikan konflik-konflik yang berhubungan dengan tata produksinya. Salah satu yang menjadi target adalah Pabrik Gula Takalar yang di bawah kendali operasi PTPN XIV. Namun ini juga menjadi sinyal untuk seluruh petani di daerah dimana PTPN XIV beroperasi.

Penegasan ini dalam rangka untuk memenuhi suplai gula lokal dan pasar regional. Targetnya akan memproduksi 120 ribu ton gula per tahun yang dikatakan sebagai jumlah kebutuhan gula di Sulsel, sebuah target besar dari jumlah yang baru bisa dihasilkan sebesar 25 ribu ton gula.

Untuk itu, borjuasi dan birokrat lebih memilih untuk menanam komoditi yang mencerminkan kepentingan bisnis mereka, ketimbang kebutuhan pokok warga terkait. Dengan kondisi hujan seperti ini, petani Polongbangkeng harus berburu waktu dengan musim tanam. Taruhannya adalah penghidupan dan kehidupan keluarga mereka.



MINGGU SIANG (18/11) keesokan harinya, hujan tidak menghalangi rencana warga meneruskan aksi penghadangan pengolahan dan sabotase produksi.

Dari rumah salah seorang warga kami menuju ke sebuah lokasi berbeda dari kemarin. Disini, sebuah aksi sabotase sedang berlangsung. Sekelompok warga menggali dan menimbun bongkahan tanah dengan menggunakan cangkul dan peralatan sederhana. Mereka mengisi karung-karung plastik dengan tanah untuk dijadikan tanggul. Mereka mensabotase parit yang dibuat PTPN XIV di tengah-tengah tanah warga. Aksi ini dimaksudkan untuk membalas tindakan PTPN yang menimbuni sawah warga yang baru saja ditanami beberapa waktu yang lalu.

Sabotase dilakukan untuk menghalangi aliran air yang mengalir melalui parit. Parit tersebut berfungsi untuk mengatur suplai air dalam genangan ladang tebu. Jika parit tidak berfungsi, air tidak bisa mengalir keluar dan akan tinggal di dalam yang bisa menyebabkan tanaman tebu membusuk. Menurut informasi warga, parit tersebut sudah dibuat bulan Februari 2010 lalu, mengelilingi beberapa lahan warga berbentuk huruf V dan U.

Petani yang menolak lahan mereka dilalui selokan ladang tebu, telah berkali-kali memprotes ke aparat kepolisian dan perusahaan. Ia menolak pembuatan parit melewati tanah warga. Tetapi jawaban yang muncul tidak memuaskan hatinya. Ia pun melancarkan bentuk protes lain sebagai perlawanan yakni dengan menutup parit.

Lewat tengah hari, kami mendapat kabar bahwa di Blok D, pengolahan akan segera dimulai. Beberapa warga lantas sibuk mengontak yang lainnya untuk segera menuju ke titik yang dimaksud. Kami pun beranjak bersama beberapa warga yang datang menjemput.

Setelah melewati sungai kecil dan pematang yang sungguh becek karena hujan, kami bertemu dengan beberapa warga lainnya yang juga bermaksud sama.

Dari kejauhan nampak sebuah mobil traktor perusahaan baru saja selesai mengolah sebidang tanah. Meski begitu, tak ada penjagaan ketat seperti beberapa hari lalu. Ketika rombongan warga sudah mendekat, pengemudi traktor nampak sedikit tegang. Beberapa warga mempercepat langkahnya. Entah karena ketakutan melihat kedatangan beberapa warga atau memang karena waktu telah menunjukkan jam pulang, pengemudi memutar mobil traktornya dan berjalan menjauh.

Beberapa orang warga yang mendapati lahan tersebut baru saja diolah tidak bisa menyembunyikan kegeramannya. Perusahaan memanfaatkan waktu kala hujan saat warga tidak berada di sekitar lokasi.

Di beberapa titik, regu-regu kecil juga telah bersiap. Serupa dengan hari kemarin, mereka mengawasi dari berbagai arah dan tempat berjauhan dan berkomunikasi melalui telepon seluler. Jika ada tanda-tanda pengolahan dan penjagaan, mereka akan segera mengepung lokasi.

Namun, setelah lebih dari satu jam menunggu, nampaknya tidak akan ada pengolahan lagi hari ini. Akhirnya, melalui komunikasi ponsel, diputuskan untuk berkumpul di Blok D. dalam beberapa menit, sudah nampak kelompok-kelompok warga berdatangan dari berbagai arah mata angin tempat mereka berkumpul dan bersiaga.

Satu hal yang perlu dicatat disini adalah batalnya pengolahan tidak membuat warga senang, namun sebaliknya mereka kecewa dan marah. Ini dikarenakan, perusahaan tidak akan melakukan pengolahan jika ada blokade warga dan pengawasan pihak seperti wartawan. Sementara warga sendiri justru ingin berhadapan dengan traktor dan Brimob penjaga. Sebab, yang lebih mengkhawatirkan adalah pengolahan di malam hari yang selama ini sering dilakukan PTPN XIV.

Akhirnya setelah seluruh regu berkumpul, warga kemudian membahas tentang situasi yang dihadapi. Mereka saling melempar argumen tentang apa yang mesti dilakukan. Warga terbagi menjadi tiga kelompok berdasarkan strategi yang diusulkan.

Pertama, ada yang menginginkan untuk melakukan aksi besar-besaran ke kantor Bupati atau Komisi I DPRD Takalar. Alasannya, para pemegang kekuasaan ini lebih bisa didesak untuk melakukan sesuatu yang berpihak pada warga.

Kelompok kedua, yang mendorong agar aksi-aksi penghadangan dapat terus dilangsungkan. Mereka mengusulkan agar penghadangan tidak hanya dilakukan di siang hari, tetapi juga malam hari. Ini dikarenakan pola pengolahan yang dilakukan PTPN cenderung di malam hari, jika siangnya dilakukan penghadangan.

Sementara yang ketiga mengusulkan taktik berbeda. Yakni pendudukan lahan, dengan cara membuat perkampungan sementara untuk menghalau perusahaan melakukan pengolahan dalam bentuk apapun. Dengan membangun perkampungan, warga akan tinggal sementara disitu dan akan mengawasi serta mempertahankan tanahnya.

Tanpa disadari, seluruh yang ada saat itu telah terlibat dalam diskusi yang berlangsung dalam suasana yang khas itu. Hampir 50 orang terlibat di dalamnya. Ini adalah pemandangan yang luar biasa, dimana para petani yang bersahaja tersebut mendiskusikan strategi dan taktik yang diinginkannya masing-masing. Mereka mendiskusikannya tanpa representasi dan moderasi pemimpinnya. Gambaran tentang partisipasi yang relatif setara yang sangat jelas dalam dialog-dialog mereka, para warga biasa yang jauh dari hiruk pikuk ketokohan. Atmosfer khas sebagaimana yang tercermin dalam aksi-aksi spontan petani tahun 2009 yang lalu, muncul dalam sekilas dinamika ini. Ekspresi yang eksis sebelum warga dimediasi oleh kekuatan-kekuatan eksternal.

Dan menjelang satu jam saling berjibaku dengan argumen dan pandangan, diskusi belum juga menghasilkan keputusan yang bisa diambil. Warga juga menyadari bahwa mereka harus melibatkan yang tidak hadir saat itu, jika ingin merencanakan sebuah aksi bersama yang mengatasnamakan seluruh petani Polongbangkeng.

Akhirnya, seorang warga pun menawarkan agar pembicaraan dilanjutkan malam harinya di posko utama. Entah apakah suasana pertemuan sebentar malam yang formal itu dapat menjadi sama egaliternya dengan yang terjadi barusan. Entah juga apakah setiap orang dapat melontarkan pandangan dan keinginannya secara lebih bebas dan rileks, seperti diskusi tadi. Apakah pembicaraannya akan relatif bebas dari dominasi orang per orang.

Hari beranjak senja. Kami diberitahu agar sesegera mungkin meninggalkan lokasi karena arus sungai akan membesar. Semua orang pun akhirnya kembali ke tempat masing-masing, meninggalkan lokasi itu dengan semangat yang masih berkobar. ]iy+bml[

BY KONTINUM – NOVEMBER 16, 2010
www.kontinum.org

No comments:

Post a Comment